|
BEKASI - Ide pemerintah membuat perusahaan induk (holding company) untuk mengelola sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, mendapat dukungan dari kalangan DPRD Kota Bekasi dan masyarakat. Namun, mereka berharap pemerintah mengupayakan adanya perubahan pola penanganan sampah yang lebih baik. "Kalau masih pakai pola yang sekarang, saya yakin tetap akan bermasalah. Minimal, harus ada perubahan dari pola sanitary landfill (proses menghilangkan bau, Red) yang saat ini dilakukan di Bantar Gebang," ujar Sekretaris Komisi B (bidang pembangunan) DPRD Kota Bekasi, Mohamad Affandi, kepada Pembaruan, Selasa (14/2). Dia menuturkan, PT Patriot Bangkit Bekasi (PBB), yang ditunjuk sebagai pengelola tunggal di TPA Bantar Gebang, ternyata tidak mampu mengelola sampah dengan baik. "Lihat saja sarana drainase yang ada. Jelek sekali. Sampai-sampai air lindi dari tumpukan sampah mengalir ke tanah-tanah pertanian milik warga," tegasnya. Selain itu, menurut Affandi, pembangunan sumur artesis yang dilakukan PT PBB juga tidak membuat warga di sekitar lokasi pembuangan sampah mudah mendapatkan air bersih. Oleh karena itu, lanjutnya, dia sangat mendukung rencana pembentukan perusahaan induk kerja sama antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi dalam menangani sampah di Bantar Gebang. "Jika ada satu unit usaha yang bermasalah, kan tidak mengganggu penanganan sampah secara keseluruhan," imbuhnya. Hal tersebut patut dipikirkan oleh semua pihak karena TPA Bantar Gebang merupakan tempat bermuaranya sebagian besar sampah yang dihasilkan warga DKI Jakarta dan Bekasi. Catatan Pembaruan menunjukkan, setidaknya ada empat pihak yang membuang sampah di lokasi tersebut, yakni Dinas Kebersihan DKI, PD Pasar Jaya, perusahaan swasta umum, dan kendaraan-kendaraan sewa. Dalam satu hari, jumlah sampah yang dibuang di TPA Bantar Gebang mencapai 6.000 ton. Padahal, jumlah idealnya hanya sebanyak 3.000 ton per hari. Bau Hal yang serupa juga dinyatakan Wakil Ketua DPRD Kota Bekasi, Dadang Asgar Noor. Menurutnya, PT PBB yang menerima bagian sebanyak 80 persen dari Rp 52.500 per ton yang dibayarkan Pemprov DKI, seharusnya dapat melakukan pekerjaan dengan benar. Namun, sambungnya, yang terjadi di lapangan justru berbeda. "Bau sampah masih menyengat di sekitar lokasi TPA," tegasnya. Untuk itu, dia meminta seluruh pihak terkait dapat mencermati kontrak PT PBB yang akan berakhir Juni 2006. Menurutnya, perusahaan yang mengelola sampah di TPA diharapkan mampu menerapkan teknologi yang berdampak baik kepada masyarakat.Begitu pula dengan pengamat perkotaan yang tinggal di Bekasi, Benny Tunggul. Dia mendukung pembentukkan holding company dalam pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang. Menurut dia, masalah yang terjadi selama ini merupakan buah ketidakmampuan PT PBB dalam menjalankan pekerjaannya. "Mereka belum dapat dikatakan melakukan sanitary landfill," ujarnya. Dia menambahkan, pola spesialisasi dalam pengelolaan TPA sangat dibutuhkan agar jika ada masalah pada satu bidang, pemerintah dapat langsung menggantinya tanpa menganggu proses kerja secara keseluruhan. (PS/N-6) Post Date : 14 Februari 2006 |