|
PERUSAHAAN Daerah Air Minum (PDAM) yang terdapat di setiap kabupaten/kota di Indonesia saat ini berjumlah 400-an perusahaan. Dilihat dari kapasitasnya dibedakan menjadi dua, yaitu PDAM kecil dengan jumlah pelanggan di bawah 10.000 dan PDAM besar di atas 10.000. Setiap PDAM memiliki kebijakan tersendiri baik dari manajemen maupun penetapan tarif. Hal itu tergantung pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kelahiran undang-undang otonomi daerah dapat menimbulkan ketegangan antardaerah dalam mengelola air. Hal itu terjadi apabila pola pikir pengelolaan air hanya mengacu pada batas administratif. Padahal, air tanah ataupun air permukaan merupakan sumber daya yang mengalir sehingga suatu daerah tidak bisa 100% menguasainya. Suatu daerah harus mengizinkan sumber airnya dikelola wilayah lain dengan membuat kesepakatan adil dan tidak merugikan. Pola yang digunakan Perusahaan Daerah Air Bersih (PDAB) Jateng dalam mengelola sumber air di Desa Kaligiri, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes untuk memasok PDAM Brebes, Kota Tegal, dan Kabupaten Tegal harus ditinjau ulang. Hal itu untuk mengantisipasi munculnya gugatan pada perusahaan tersebut terhadap pengelolaan sumber air karena selama ini sering muncul ketidakpuasan terhadap pembagian air ke tiap-tiap daerah cakupan. Terlebih lagi, perusahaan semacam PDAB sudah tidak ada lagi di Indonesia. Begitu pula dengan PDAM yang tidak memiliki sumber air sendiri, harus mencari solusi apabila daerah yang memiliki sumber air tidak mengizinkan jika airnya diambil. Dari sejumlah PDAM di Indonesia, sekitar 80% perlu segera diselamatkan. Sebab, kondisinya kini sudah parah bahkan lebih tepat jika disebut kritis. Mencari Pembenaran Selama ini, permasalahan utama yang menghinggapi adalah masalah utang di samping kualitas dan kuantitas air. Utang PDAM di Indonesia Rp 5,3 triliun, misal PDAM Jaya, PDAM Tangerang, PDAM Semarang, dan PDAM Bandung. Bahkan, utang PDAM menempati peringkat ketiga terbanyak setelah utang pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Saat ini, kabupaten/ kota yang memiliki utang PDAM beramai-ramai mengajukan restrukturisasi utang dengan mengambinghitamkan krisis moneter (krismon). Hal itu sebenarnya hanya menjadi upaya mencari pembenaran untuk penghapusan utang. Dengan kondisi seperti itu, lantas siapa yang patut dipersalahkan? Seharusnya, pihak yang harus bertanggung jawab adalah pemerintah daerah setempat, dalam hal ini bupati atau wali kota. Pasalnya, dia mempunyai kebijakan untuk menentukan SDM dan besarnya tarif. Misal dalam penunjukan pejabat perusahaan hanya didasarkan pada aspek politis sehingga mengabaikan syarat yang penting dan mendasar sesuai dengan Permendagri Nomor 7/1998. Dengan demikian, penunjukan tersebut dapat mengakibatkan kinerja PDAM kurang maksimal. Sejauh ini jumlah masyarakat Indonesia yang terlayani PDAM baru sekitar 38% untuk wilayah perkotaan dan 8% untuk wilayah pedesaan. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 40 juta orang atau 20% dari pelanggan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Idealnya, untuk perkotaan 80% terlayani dan 60% untuk wilayah pedesaan. Selain karena kesalahan pemilihan SDM, kritisnya PDAM juga akibat penentuan tarif yang salah. Selama ini besaran tarif air bukan ditentukan pleh PDAM melainkan pemerintah daerah. Misalnya sesuai dengan perhitungan PDAM, tarif air yang normal seharusnya dapat menutup biaya produksi, yaitu Rp 1.500. Namun, apabila pemerintah daerah menolak dan menetapkan harga air di bawah harga tersebut, PDAM tidak bisa berbuat banyak. Dengan demikian, otomatis PDAM akan menanggung kerugian. Karena itu, untuk mengupayakan agar PDAM bisa sehat ada dua solusi, yaitu membiarkan tarif air ditentukan pasar atau pemerintah daerah memberikan subsidi melalui anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Sementara itu, terkait dengan masalah utang, pemerintah daerah harus turun tangan menyelesaikan. Sebab, perusahaan itu merupakan perusahaan milik daerah. Contohnya hal itu dilakukan Pemkab Wonogiri. Jangan justru pemerintah daerah mengajak swasta untuk bekerja sama menyelesaikan masalah. Karena dipastikan, swasta selalu memiliki motif mencari keuntungan. Akibatnya, tarif air akan naik dan ujung-ujungnya masyarakat pelanggan akan dirugikan. (19j) Anjar Asmoro Prio UtomoPenulis adalah alumnus Diklat Manajemen Air Minum Tingkat Utama Angkatan VII 2004 Post Date : 09 Juni 2005 |