|
Jakarta, Kompas - Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengakui Jakarta belum memiliki saluran dan instalasi pengolahan air limbah domestik yang memadai. Instalasi pengolahan air limbah domestik dan saluran pendukungnya baru tersedia di kawasan segitiga emas Kuningan. ”Instalasi pengolahan limbah dan saluran pendukungnya sangat diperlukan agar sungai-sungai Jakarta tidak tercemar limbah domestik kota,” kata Fauzi Bowo, Selasa (24/3) di Balaikota DKI Jakarta. Namun, mahalnya biaya pembangunan instalasi dan saluran limbah itu, kata dia, membuat Pemprov belum dapat membangunnya sampai sekarang. Pembangunan instalasi pengolahan air limbah domestik dan saluran pendukungnya, menurut Fauzi, membutuhkan dana lebih dari Rp 1 triliun. Meskipun hanya 4,5 persen dari total nilai APBD DKI Jakarta 2009, jumlah itu masih dirasakan sangat besar karena DKI memerlukan dana besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur angkutan massal dan penanggulangan banjir. Konsep pengelolaan air limbah domestik di Jakarta, kata Fauzi, menyerupai yang ada di kawasan Kuningan saat ini. Ada saluran khusus untuk menampung air limbah dari rumah atau apartemen dan dikumpulkan di dekat Waduk Kuningan untuk diolah di instalasi pengolahan. Pengolahan limbah domestik di Kuningan adalah proyek percontohan yang harus diteruskan dengan proyek serupa di kawasan lain, tetapi belum terwujud. Pada masa pemerintahan Gubernur Sutiyoso, Pemprov DKI pernah membahas rencana pembuatan terowongan yang jauh di bawah tanah (deep tunnel) untuk mengatasi banjir, penyimpanan air baku, dan pengolahan limbah. Biaya pembangunan yang lebih dari Rp 2 triliun dan hambatan dari berbagai aspek teknis lainnya menyebabkan terowongan itu tidak jadi direalisasikan. Pengamat hidrologi dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengatakan, sistem pengolahan air limbah domestik, mulai dari saluran sampai instalasi pengolahan, harus segera diwujudkan. Selama ini air limbah domestik selalu dibuang ke sungai atau masuk ke septictank yang ada di setiap rumah. Jumlah septictank yang terlalu banyak dan terlalu dekat dengan sumur di permukiman padat, kata Firdaus, menyebabkan banyak sumur dangkal di Jakarta yang tercemar bakteri E-coli. Pencemaran oleh bakteri ini menyebabkan banyak warga Jakarta rentan terkena diare. Di sisi lain, banyaknya sungai yang terus dibiarkan tercemar membuat operator PAM Jaya harus mendatangkan air baku dari luar Jakarta. Jika air limbah domestik dikelola dengan baik, kata Firdaus, Jakarta akan memiliki sumber air baku yang dapat diolah menjadi air minum. Firdaus mengatakan, meskipun biaya pembangunannya mahal, instalasi pengolahan air limbah domestik dapat menghasilkan pemasukan bagi pemerintah. Di satu sisi, pemerintah dapat menarik retribusi dari warga untuk pengelolaan limbah. Di sisi lain, pengelolaan air limbah juga dapat menghasilkan pupuk organik dalam jumlah besar yang dapat dijual. (ECA) Post Date : 25 Maret 2009 |