|
Jakarta, Kompas - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus serius dan konsiten dalam rencananya memperbaiki pengelolaan sampah di Tempat pembuangan Akhir Sampah Bantar Gebang, Bekasi. Hanya dengan bukti nyata perbaikan, citra buruk yang melekat di TPA Bantar Gebang selama ini berangsur-angsur bisa pulih. "TPA Bantar Gebang adalah barometer pengelolaan sampah di Indonesia. Baik buruknya TPA ini akan memberikan implikasi sendiri. Sejarah membuktikan, buruknya pengelolaan TPA Bantar Gebang berimplikasi pada merebaknya penolakan sampah dan TPA di sekitar Jabodetabek dan daerah-daerah lainnya di Indonesia," kata Bagong Suyoto, Ketua Koalisi LSM untuk Persampahan Nasional, Jumat (15/9). Dia menanggapi rencana DKI untuk memperbaiki TPA Bantar Gebang menjadi tempat pengelolaan sampah terpadu. Seperti diberitakan sebelumnya, DKI-Bekasi sepakat untuk membentuk badan usaha bersama. Kerjasama ini dalam upaya untuk menjadikan TPA Bantar Gebang bukan sekedar pengelolaan sampah dengan sanitary landfill, tetapi bisa memanfaatkan potensi ekonomi sampah yang sudah ada atau yang akan masuk. Menurut Bagong, langkah terpadu dan cepat harus diambil, yakni menata kembali TPA Bantar Gebang menuju recovery estate, yaitu suatu upaya mengembalikan sampah ke dalam sumber daya (return to resources), menjadikannya bernilai ekonomis dan aman bagi lingkungan. Penataan kembali TPA Bantar Gebang ini juga diarahkan menjadi pusat pendidikan dan penelitian, pusat komposting, pengembangan pertanian organik, daur ulang dan pemanfaatan sampah, dan lain-lain. "Selama ini masyarakat malu menjadi warga Bantar Gebang karena identik dengan sampah yang jorok. Coba kalau lokasi ini jadi tempat pembuangan sampah yang bagus dan potensi ekonominya menjadi suatu usaha, masyaarkat akan bangga. Perhatikanlah masyarakat yang sudah bisa menerima keberadaan TPA Bantar Gebang. Jadi seharusnya upaya perbaikan tidak lagi main-main," kata Bagong. Jika ingin berhasil, pengelolaan TPA Bantar Gebang harus diserahkan kepada perusahaan yang memiliki kualifikasi dan garansi internasional, atau membentuk holding company yang diisi dengan sumber daya manusia yang profesional, didukung modal dan teknologi, tanpa mengurangi peran partisipasi masyarakat sekitar. " Persoalan sampah hendaknya tidak dijadikan komoditi politik," tegasnya. Komposer Sementara itu, dalam rangka kongres ke-XVII, Persatuan Insinyur Indonesia (PPI), Sabtu (16/9), memperkenalkan pengolahan sampah skala kecil di RW 03 dan RW 08 Rawajati Timur, Jakarta Timur dengan home komposer. Pemilahan sampah antara yang organik dan non organik dilakukan di rumah tangga. Selanjutnya, sampah organik seperti sisa makanan, sayur busuk dimasukkan dalam tabung yang sudah dimodifikasi dengan teknologi sehingga dalam waktu tiga minggu sampah terurai menjadi kompos. Home komposer yang diperkenalkan itu dapat digunakan setiap keluarga sampai satu tahun. (ELN/PIN) Post Date : 18 September 2006 |