|
Bekasi, Kompas - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai mau enak sendiri dalam penggunaan tempat pembuangan sampah warganya di wilayah tetangganya, termasuk Bekasi. Persoalan lingkungan hidup dan kesehatan warga di sekitar lokasi pembuangan sampah warga DKI kerap diabaikan sehingga berulang kali memicu kemarahan yang berujung pada pemblokiran atau penutupan lokasi pembuangan sampah. Janji Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI bahwa dioperasikannya kembali Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang Bekasi pasca-31 Desember 2003 tidak akan mencemari lingkungan, ternyata tidak dipenuhi. Pengelolaan lingkungan TPA Bantar Gebang dan sekitarnya hingga saat ini dinilai belum optimal sehingga pencemaran karena air leachet dan bau masih terjadi yang bisa menimbulkan kerugian besar kepada warga setempat. "Sejak TPA Bantar Gebang ada, warga di sini sudah tidak bisa lagi menikmati udara bersih. Bau busuk tercium setiap hari. Belum lagi lalat-lalat yang beterbangan sampai ke dalam rumah. Anehnya, mengapa warga di sini yang harus dikorbankan untuk kepentingan warga DKI," kata Tarih (40), warga Kelurahan Sumur Batu, Bantar Gebang, Rabu (6/10). Dampak dijadikannya Bekasi sebagai lokasi pembuangan sampah DKI bukan hanya dirasakan warga Bantar Gebang. Akibat pengangkutan sampah tidak sesuai dengan standar menyebabkan ceceran air lindi membasahi jalan aspal yang dilewati truk sehingga menimbulkan bau tidak sedap. Pada malam hari, warga yang melintasi sekitar Tol Bekasi Barat menutup hidung karena bau busuk begitu menyengat. "Apalagi kalau kebetulan berpapasan dengan truk sampah DKI, saya rasanya mau muntah. Coba saja kalau malam hari lewat di sekitar Tol Bekasi Barat, saya tidak kuat dengan bau busuknya. Sampai kapan Bekasi terus dikotori sampah DKI. Jangan mentang-mentang Jakarta merupakan ibu kota negara, orang Bekasi harus mengalah terus. Saya paling mendukung kalau TPA Bantar Gebang ditutup, enggak pernah beres sih pengelolaannya," kata Liana (25) yang tinggal di Perumnas II Bekasi. Kekesalan warga Bekasi yang sudah hampir 15 tahun berkorban untuk kepentingan DKI memang tidak mengada-ada. Laporan pengawasan pengelolaan TPA Bantar Gebang oleh Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman Kota Bekasi hingga September 2004 dengan jelas mengatakan bahwa pengelolaan lingkungan TPA Bantar Gebang serta sekitarnya dilakukan Dinas Kebersihan DKI dan juga PT Patriot Bekasi Bangkit (PBB). Pengolahan air leachet dari sekitar 5.000 ton sampah yang dibuang ke TPA Bantar Gebang setiap harinya memang tidak optimal, karena instalasi pengolahan air sampah (IPAS) yang ada tidak semuanya berfungsi dengan baik. Akibatnya, air leachet yang dibuang ke saluran warga masih di atas ambang batas baku mutu limbah. Selain itu, masih ada air leachet mengalir ke saluran drainase yang bermuara ke Sungai Ciketing yang melintasi Kelurahan Ciketing Udik dan Sumur Batu yang bisa mengakibatkan sawah warga tercemar. Adapun upaya mengurangi bau akibat pembusukan sampah juga terlihat belum dilakukan secara maksimal. Jumlah lalat yang muncul di lokasi pembuangan juga semakin meningkat karena kurang dilakukan penyemprotan insektisida. "Penolakan warga di lokasi pembuangan sampah DKI karena masalah lingkungan dan kesehatan selalu dibaikan. DKI maunya terima beres, sampah bisa dibuang. Tetapi tanggung jawab terhadap warga sekitar kurang. Seharusnya DKI berusaha mengubah pandangan masyarakat bahwa TPA jorok atau sumber penyakit dengan mengelola TPA yang teratur dan bersih. Bagaimana warga Bekasi mau percaya," kata Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman Kota Bekasi Dedi Djuanda. Oleh karena itu, kata Dedi, PT PBB yang sepenuhnya akan mengelola TPA Bantar Gebang mulai tanggal 8 Oktober ini seharusnya bisa berbuat lebih baik dari DKI, bukan malah menuruti saja apa kemauan DKI. "Yang paling perlu diperhatikan ya tetap saja soal IPAS, lingkungan, dan mekanisme pembuangan," ujarnya.(ELN) Post Date : 07 Oktober 2004 |