DKI Butuh 650 Sumur Pantau

Sumber:Suara Pembaruan - 19 April 2008
Kategori:Air Minum

[JAKARTA] Pemerintah Provinsi (Pemrov) DKI Jakarta perlu menambah penyediaan sumur pantau guna memantau kegiatan eksploitasi (pengambilan) air tanah oleh warga Jakarta.

Kepala Dinas Pertambangan DKI Jakarta Peni Susanti saat ditemui SP di kantornya di Jakarta Timur, Jumat (18/4) menuturkan, saat ini DKI hanya memiliki 50 buah sumur pantau. Padahal idealnya, DKI memerlukan 650 sumur pantau. Sumur pantau itu mestinya tiap 5-10 hektare (ha) harus ada satu sumur pantau. Dengan kondisi maka bisa dideteksi apakah warga sudah mengambil air tanah sesuai ketentuan atau tidak.

Kalau hanya jumlahnya 50 buah, padahal kebutuhannya 650 buah, maka tentu sangat sulit memantau aktivitas warga terkait pengambilan air tanah, jelasnya.

Dikatakan, sumur pantau adalah alat untuk mendeteksi kegiatan warga dalam pengambilan air tanah. Dengan alat itu dapat diketahui apakah pengambilan air tanah sudah sesuai ketentuan atau tidak.

Alat ini dipasang di bawah tanah pada kedalaman tertentu. Harganya sekitar Rp 50 juta per buah. Jika ditambah dengan biaya pengeboran yang mencapai sekitar Rp 200 juta, maka total pemasangan alat ini mencapai Rp 250 juta per unit. Jika dikalikan dengan kebutuhan 650 buah maka total dana yang dibutuhkan mencapai Rp 162,5 miliar.

"Biayanya kurang lebih seperti itu, tetapi itu bergantung pada kedalaman. Lebih dalam bisa lebih mahal," katanya.

Pada kesempatan itu, ia juga menegaskan, akibat eksploitasi air tanah terjadi land subsidence (penurunan tanah) di Ibukota. Penurunan paling dalam terjadi di Jakarta Utara dan terus melanda ke Jakarta Selatan.

Pekan lalu, Pelaksana Tugas Harian (Plh) Kepala Dinas Pertambangan Haris Pindratno mengemukakan, penurunan tanah di Jakarta karena tiga hal yaitu pergeseran tanah (2,5 persen), eksploitasi air tanah (17,5 per-sen), dan beban berat bangunan (80 persen).

Sebelumnya Peni mengungkapkan akan menaikkan tarif air bawah tanah sebanyak enam kali lipat dari harga saat ini. Hal itu dilakukan untuk mengurangi eksploitasi air tanah oleh warga. Jika saat ini, tarif pengambilan air tanah antara Rp 525 hingga Rp 3.000 per meter kubik (m3), maka setelah kenaikan nanti mencapai Rp 8.000-Rp 20.000/m3.

"Tarif ini sedang diperdalam di tingkat eksekutif dan secepatnya akan dibawa ke legislatif. Jika prosesnya selesai maka segera dinaikkan," ujar Peni saat itu (SP, 5/4).

Sementara itu, Direktur Amrta Institute for Water Literacy Nila Adhiani meminta Pemprov DKI Jakarta menaikkan tarif air tanah mencapai 1.700 persen dari harga sekarang. Menurutnya, tarif air tanah yang ada saat ini sangat murah. Kondisi itu yang membuat warga menyedot air tanah secara berlebihan.

Perketat Izin

Sementara itu, ditanya soal upaya mengatasi penurunan tanah yang terjadi saat ini, Peni menjelaskan akan memperketat izin dan pengawasan terhadap kegiatan penyedotan dan pembuangan air tanah oleh para pengembang dan kontraktor gedung bertingkat.

Selain itu, akan dipasang alat monitor untuk memantau penurunan tanah di Jalan Tongkol (Jakarta Utara), kawasan Hotel Indonesia (Jakarta Pusat), Pulo Gadung (Jakarta Timur), dan Blok M (Jakarta Selatan).

Kegiatan lainnya adalah penyesuaian penerapan teknologi pondasi pada gedung-gedung bertingkat yang disesuaikan nilai daya dukungan tanah pada wilayah tertentu. Termasuk penataan ulang tata ruang yang didasarkan pada faktor geologi daya dukung bawah permukaan tanah. [RBW/Y-4]



Post Date : 19 April 2008