|
Jakarta, kompas - Warga di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung diminta untuk waspada banjir. Peringatan ini perlu diberikan karena curah hujan di Bogor, Jawa Barat, selama bulan November sudah melampaui rata-rata curah hujan bulan November selama 30 tahun terakhir. ”Sampai dengan 25 November, akumulasi curah hujan mencapai 588 milimeter (mm) atau sudah 147 persen dari rata-rata curah hujan November di Bogor selama 30 tahun terakhir,” kata Kepala Stasiun Klimatologi Dramaga Nuryadi, Senin (26/11). Selain itu, pada 18 November curah hujan dalam sehari tercatat sudah 123 mm, sedangkan rata-rata harian tertinggi dalam 30 tahun terakhir hanya 98 mm. Menurut Nuryadi, biasanya puncak curah hujan di Bogor terjadi bulan November dan Januari. Namun, pada bulan Januari umumnya curah hujan lebih tinggi ketimbang November. ”Karena puncak musim hujan juga terjadi pada Januari, kami meminta agar lebih waspada terhadap genangan air dan banjir,” kata Nuryadi. Dampak masa transisi Menurut Kepala Pusat BMKG Prabowo, fenomena curah hujan tinggi di sejumlah daerah merupakan dampak masa transisi dari musim kemarau ke musim hujan. Hujan lebat di Sumatera, terutama di bagian barat dan utara, selama beberapa hari ini disebabkan adanya pusat tekanan rendah di pesisir barat Sumatera. Akibatnya, Padang mengalami curah hujan lebat, sekitar 100 mm per hari. Di Sumatera, 80 persen wilayah musim telah masuk musim hujan. Wilayah yang telah memasuki musim hujan adalah Jawa (30 persen), Kalimantan (100 persen), Sulawesi (25 persen), dan Papua (50 persen). Secara keseluruhan, baru 38 persen dari 340 zona musim di Indonesia yang memasuki musim hujan. Puncak musim hujan diperkirakan Januari-Februari 2013. Banjir yang terjadi di Jawa merupakan dampak dari gangguan cuaca masa transisi. Hujan dengan intensitas tinggi, tetapi dalam waktu singkat. Hujan yang terjadi juga berbeda dari satu lokasi dengan lokasi lain. Rabu pekan lalu, curah hujan di Depok dan Bogor sangat lebat, sekitar 150 mm per hari. Adapun di Jakarta rendah, hanya 30 mm per hari. Menurut pakar hidrologi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, di Indonesia ada 270 kabupaten/kota yang sangat rawan banjir dengan penduduk terdampak banjir 60 juta jiwa. Daerah rawan banjir itu adalah pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, Kalsel, Kalbar, serta bagian utara dan selatan Papua. Beberapa daerah yang perlu prioritas tinggi dalam penanganan banjir adalah banjir Jakarta (DAS Ciliwung dan Cisadane), Banten (Sungai Ciujung), DAS Citarum Jabar, DAS Citanduy Jabar dan Jateng, DAS Jratunseluna di Jateng, serta DAS Bengawan Solo di Jateng dan Jatim. Penyebabnya, jumlah penduduk daerah-daerah itu padat dan infrastrukturnya strategis. Masalah terberat penyelesaian banjir adalah masalah sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. ”Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tinggal di daerah rawan banjir, yakni karena kemiskinan, pendidikan, dan urbanisasi,” kata Sutopo. Misalnya, ada 34.051 keluarga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung dari sekitar Srengseng Sawah hingga Manggarai. Pada pelaksanaan normalisasi Sungai Ciliwung yang melebarkan sungai menjadi 60 meter dan sempadan 5 meter, rumah- rumah itu akan direlokasi. Hal ini tidak mudah sehingga relokasi merupakan pilihan terakhir dalam penanggulangan bencana. Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun rumah susun umum sewa untuk penduduk bantaran Sungai Ciliwung. Untuk merelokasi semua keluarga perlu empat tahap dengan dana Rp 7,8 triliun. Normalisasi Ciliwung Untuk mengantisipasi banjir, pemerintah akan mempercepat pelaksanaan normalisasi Sungai Ciliwung karena kondisi lingkungannya semakin buruk. Selama banjir melanda Jakarta, hampir dua minggu ini sungai itu beberapa kali meluap dan menggenangi permukiman bantaran sehingga tak kurang dari 6.000 jiwa menjadi korban banjir. Hingga Senin (26/11), setidaknya 5.490 jiwa di bantaran Sungai Ciliwung rumahnya masih terendam banjir. Sekitar 90 jiwa di antaranya masih mengungsi di masjid dan kantor pemerintahan terdekat karena rumahnya terendam banjir hampir setinggi atap. Normalisasi Sungai Ciliwung itu akan dilaksanakan dua kementerian, yaitu Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengungkapkan, keberadaan rumah-rumah kumuh di bantaran sungai membuat alur sungai itu menyempit sehingga selalu meluap dan membanjiri wilayah sekitarnya. Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz mengatakan, sedianya program penataan rumah kumuh di bantaran Sungai Ciliwung dilaksanakan tahun 2011. ”Banyak hambatan teknis sehingga baru akan dimulai pada Januari 2013, dengan catatan anggaran disetujui Dewan dan rencana ini disetujui warga,” katanya. Menurut Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, normalisasi sudah mulai berjalan di beberapa titik, tetapi banjir sudah lebih dulu datang tahun ini. ”Nanti kalau sudah musim kering, langsung kita kebut,” katanya. Banjir di beberapa lokasi di Jakarta juga tak hanya disebabkan meluapnya sungai-sungai besar, tetapi juga karena rusaknya saluran penghubung di tengah permukiman. Contohnya, jebolnya tanggul saluran penghubung Kali Cipinang di Kampung Makasar dan kompleks Halim, Jakarta Timur, pada Sabtu malam. (gal/yun/FRO/PIN/ ART/NDY/WIN/MDN/arn) Post Date : 27 November 2012 |