|
Jakarta, kompas - Pembentukan badan usaha bersama atau BUB antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi untuk meningkatkan pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantar Gebang terus dikebut. Jika dalam setahun BUB tidak terbentuk, TPA Bantar Gebang harus ditutup. Kepala Dinas Kebersihan DKI Rama Boedi, Kamis (14/9), mengatakan, pembahasan untuk mewujudkan kerja sama DKI-Bekasi dengan membentuk badan usaha bersama (sebelumnya direncanakan badan usaha milik daerah) hingga sekarang masih dilakukan. Pembentukan BUB itu sudah merupakan amanah dalam perjanjian kerja sama pemanfaatan TPA Bantar Gebang di antara kedua pemerintah ini. Saat ini, kata Rama, DKI-Bekasi sedang terus membahas prinsip-prinsip dasar, termasuk soal saham, direksi, dan badan usaha. Badan usaha bersama ini direncanakan berbentuk perseroan terbatas (PT). Untuk sahamnya direncanakan masing-masing 50 persen. PT sebagai holding company ini bisa mencari investor untuk memanfaatkan sampah yang sudah ada atau sampah yang baru masuk. Pengelolaan sampah tidak semata sanitary landfill, tetapi juga dengan teknologi pengolahan sampah. TPA diubah menjadi tempat pengolahan sampah terpadu. Adapun pengelolaan TPA Bantar Gebang pascatragedi longsornya tumpukan sampah di Zona IIIA tetap dilakukan PT Patriot Bangkit Bekasi. Didesak bebaskan tanah Sementara itu, Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih kembali mendesak Pemerintah Provinsi DKI agar segera merealisasikan pembebasan lahan seluas 2,3 hektar milik Hj Enyi, yang berada di tengah-tengah areal TPA Bantar Gebang. Pembebasan lahan itu, menurut Zurfaih, demi memperluas area zona pembuangan di TPA Bantar Gebang sekaligus mengantisipasi terjadinya bahaya longsor. Menurut Zurfaih, Pemprov DKI sudah setuju untuk membeli lahan itu, tetapi belum direalisasikan karena terhambat perbedaan harga ganti rugi. Pemilik lahan, kata Zurfaih, menuntut dibayar Rp 250.000 per meter persegi, sementara Pemprov DKI menawarkan ganti rugi sebesar Rp 80.000 per meter persegi. "Kekhawatiran saya, sampah di Zona III bisa longsor lagi," kata Zurfaih hari Kamis. Lahan milik Hj Enyi tersebut berada di tengah Zona III, persis di belakang lokasi timbunan sampah yang longsor hari Jumat pekan lalu. Sebelumnya salah seorang putra Hj Enyi, Neit, mengungkapkan, mereka bersedia menjual tanah keluarga mereka asal harga ganti ruginya sesuai. Lahan seluas 2,3 hektar itu, diakui Neit, sudah dibagi ke dalam lima sertifikat tanah, masing-masing dipegang Hj Enyi dan keempat anaknya. Gubernur DKI Sutiyoso juga sudah menyatakan setuju untuk membeli lahan seluas 2,3 hektar itu, seperti diungkapkan Rama Boedi. (eln/cok) Post Date : 15 September 2006 |