|
Bagi Djuariah Djadjang, Sungai Cikapundung yang bersih dan bening tinggal kenangan masa lalu. Dia prihatin karena banyak warga yang membuang sampah sembarangan di salah satu penanda Kota Bandung itu. Warga RT 02 RW 20, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat, ini pantas prihatin. Lahir dan besar di kawasan Taman Sari, ia bisa melihat langsung menurunnya kualitas Sungai Cikapundung yang letaknya tak jauh dari rumah. Padahal, sebagai ibu rumah tangga yang juga kader aktif PKK dan posyandu, Djuariah sangat mafhum akan pentingnya kebersihan lingkungan. ”Sepanjang yang saya ingat, sejak dulu para pengurus RW sudah menganjurkan agar warga tidak membuang sampah ke sungai. Namun, kebiasaan itu tetap saja dilakukan,” kata Djuariah. Hingga tahun 2005, ada lembaga swadaya masyarakat, Koalisi untuk Jawa Barat Sehat (KuJBS), mengadakan pendampingan di tempat itu. Mereka mengajak masyarakat hidup bersih, antara lain dengan tak membuang sampah sembarangan. Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, lembaga itu mengirim kader aktif ke pelatihan daur ulang sampah di Surabaya, Jawa Timur. ”Saya dan dua rekan kader terpilih ikut pelatihan,” katanya. Daur ulang sampah plastik ini tak terlalu rumit, tetapi butuh ketekunan ekstra. Proses pertama, lembaran plastik kering dan bersih digunting dengan ukuran sama. Lalu, guntingan plastik itu dilipat dan disambung hingga membentuk aneka barang seperti tas, wadah pensil, tempat tisu, sandal, bahkan sajadah. ”Awalnya susah juga, tetapi saya mau belajar,” kata Djuariah. Sampah plastik yang digunakan bisa berasal dari kemasan aneka produk, seperti mi instan, kopi instan, makanan ringan, sabun cair, dan pelembut pakaian. Menularkan keterampilan Sesuai tujuan pengiriman ke pelatihan, Djuariah tak menyimpan keterampilan itu untuk diri sendiri. Pengalaman sebagai kader memudahkan dia untuk menularkan keterampilan itu kepada warga di lingkungan sekitar rumahnya. Pada tahap awal, ia mengajarkan keterampilan itu kepada ibu-ibu se-RT yang berminat. Di samping mengajar, ia juga terus mengajak warga agar tak membuang sampah sembarangan. Ia pun mengajak masyarakat memilah sampah kering dan basah. Awalnya, mengajak masyarakat mengubah kebiasaan bukan hal mudah. Apalagi, wilayah Taman Sari merupakan daerah kos mahasiswa yang mungkin penghuninya tak punya rasa memiliki sekuat penghuni asli pada lingkungan tempat tinggalnya. Beragam tantangan dialami Djuariah yang juga punya beberapa kamar kos untuk mahasiswa. ”Saya sering dikira mau meminta sumbangan ketika melakukan penyuluhan. Saya juga pernah dihindari karena disangka mau menyebarkan ajaran agama,” katanya. Namun, upayanya tak sia-sia. Belakangan ini puluhan ibu rumah tangga mau bergabung dalam kelompok masyarakat peduli lingkungan Mekarsari. ”Sesekali kami berkumpul. Selebihnya daur ulang sampah dikerjakan di rumah masing-masing,” katanya. Volume sampah berkurang Aktifnya warga masyarakat dalam kegiatan ini praktis mengurangi volume sampah di daerah itu. ”Setelah didaur ulang, sampah yang tersisa tinggal sedikit,” kata Djuariah. Selain itu, barang-barang yang dihasilkan juga bernilai ekonomis. Tempat pensil, misalnya, bisa dijual mulai harga Rp 10.000. Sementara itu, produk yang ukurannya lebih besar, seperti tas dan sajadah, bisa dijual dengan harga puluhan ribu rupiah hingga lebih dari Rp 100.000 per buah. ”Barang-barang daur ulang hasil produksi warga di sini kemudian dipasarkan melalui pameran, pesanan langsung, atau dititipkan di beberapa toko. Dalam setiap pameran, barang-barang daur ulang ini selalu laris, relatif habis terjual karena tampak unik,” katanya. Djuariah senang karena hasil penjualan produk daur ulang itu berarti tambahan penghasilan bagi rumah tangga anggota Mekarsari. ”Besar uang yang didapat warga tergantung dari jumlah barang yang terjual. Dari dua tas misalnya, seorang ibu bisa mendapat sedikitnya Rp 100.000. Mungkin jumlah tersebut tak besar, tetapi itu sangat berarti bagi ibu rumah tangga yang tak punya pekerjaan di luar rumah. Mereka juga menjadi lebih produktif daripada sekadar ngrumpi,” kata Djuariah. Untuk kegiatan ini, ia rela rumahnya menjadi tempat penyimpanan berbagai macam sampah plastik. ”Sejak adanya pendampingan, warga mulai sadar untuk memilah sampah. Kami jadi mudah mendapatkan sampah plastik untuk bahan baku,” katanya. Suaminya, Djadjang Ruchiyat, pegawai negeri sipil di salah satu instansi di Kota Bandung, pun tidak segan membantu kerja sang istri di kala senggangnya. ”Jika dulu saya harus mengambil sampah ke rumah warga, kini sampah ’datang’ sendiri ke rumah. Tiap pagi ada saja kantung sampah tergantung di setang sepeda motor suami saya yang diparkir di teras,” cerita Djuariah. Bahkan, salah satu kamar kos miliknya sedang kosong juga dia jadikan sebagai ”gudang” sampah plastik. Direkam dan dibagikan Dengan pengalamannya selama ini, Djuariah jadi sering diminta menjadi pembicara dalam pelatihan daur ulang sampah di berbagai daerah, terutama di Jabar seperti di Cianjur, Sukabumi, Sumedang, dan Cirebon. Proses daur ulang sampah plastik yang dilakukan Mekarsari oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kota Bandung direkam dalam bentuk VCD dan dibagikan ke berbagai pihak. ”Ada juga mahasiswa yang membuat skripsi terkait kegiatan kami. Gara-gara sampah, saya menjadi guru, mengajar ke mana-mana,” kata nenek satu cucu ini. Padahal, Djuariah tidak berlatar pendidikan formal mengajar. Sebelum memutuskan menjadi ibu rumah tangga, ia bekerja di PT Kimia Farma. ”Saya berhenti bekerja karena sering sakit saat kehamilan anak kedua,” katanya. Atas kerja kerasnya dalam mendaur ulang sampah dan perhatiannya pada kebersihan sebagian aliran Sungai Cikapundung, Djuariah mendapat penghargaan Masyarakat Peduli Lingkungan tingkat Jabar pada tahun 2008. LIS DHANIATI Post Date : 05 Februari 2009 |