|
SOLO (Media): Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Gatot Irianto sesalkan langkah pemerintah daerah yang masih menjadikan kekeringan sebagai objek proyek, dan jauh dari esensi persoalan yang dihadapi para petani. ''Semua penanganannya masih parsial dan berorientasi proyek. Dan hasilnya sendiri tidak pernah tepat waktu dan sasaran, serta hanya memboroskan tenaga dan dana,'' kata Gatot pada Semiloka Antisipasi dan Solusi Mengatasi Kekeringan di Jawa Tengah, yang diselenggarakan oleh Indonesia Forum on Globalization (INFOG) di Solo, kemarin. Menurut dia, sejauh ini masalah kekeringan cenderung meningkat intensitas, frekuensi, durasi, distribusi, dan luas wilayah yang mengalami dampaknya. Dan celakanya petani seolah pasrah dan tidak berdaya karena keterbatasan akses, kontrol, dan informasi serta sekaligus mengesankan bahwa masalah penanggulangan kekeringan menjadi tanggung jawab pemerintah. Mestinya, lanjut Gatot, untuk mengatasi persoalan pelik kekeringan, adalah bagaimana memberdayakan petani secara maksimal melalui penyediaan informasi kekeringan, pasar komoditas bernilai ekonomi tinggi, dan lain sebagainya. Suharno, staf Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jawa Tengah, melaporkan saat ini memang ada empat waduk yang kosong airnya. Terdiri dari tiga waduk kecil karena defisit dan sebuah waduk dalam perbaikan. Jumlah volume air dari keempat waduk itu 8,4 juta meter kubik atau 0,63 persen dari jumlah volume air waduk di Jawa Tengah. Daerah kekeringan di Jawa Tengah mulai April 2004 terjadi di wilayah Rembang, Pati, Blora, Grobogan Timur, Boyolali, Sragen, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Brebes, Tegal utara, Pemalang utara, Pekalongan Utara, dan Batang utara. Sementara itu, untuk mengantisipasi anjloknya harga gabah di tingkat petani, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pekalongan mengucurkan dana talangan sebesar Rp749,5 juta kepada lima lembaga ekonomi rakyat. Pemantauan Media di berbagai daerah di Kabupaten Pekalongan kemarin, dalam waktu dekat para petani telah mulai melakukan panen raya. Namun, mereka cukup resah dengan anjloknya harga gabah pada panen sebelumnya hingga petani mengalami kerugian cukup besar. "Panen lalu, harga gabah di tingkat petani anjlok hingga Rp800-Rp900/kg, sedangkan harga pupuk cukup tinggi sehingga para petani merugi," kata Muhammad, 48, warga Sragi, Pekalongan. Selain mengalami anjloknya harga gabah, kerugian lain yang ditanggung petani akibat bencana banjir. Sehingga dalam satu musim tanam rata-rata petani di daerah Sragi ini menanam dua kali karena tanaman pertama rusak diterjang banjir. Kepala Dinas Pertanian Pekalongan Djarot secara terpisah mengatakan, guna mengantisipasi anjloknya harga gabah di tingkat petani, Pemkab Pekalongan kucurkan dana talangan guna pembelian gabah. Irigasi mulai dibangun Dari Kupang dilaporkan Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai membangun saluran irigasi Benanain di Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Belu, yang rencananya akan mengairi lahan kritis seluas 6.000 hektare. Saluran tersebut merupakan kelanjutan dari proyek Bendungan Benanain yang dikerjakan menggunakan dana bantuan Jepang Rp45 miliar, dan pekerjaannya telah berakhir Februari 2004. Wakil Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengatakan, proyek irigasi Benanain merupakan salah satu proyek raksasa di Nusa Tenggara Timur. Proyek ini diharapkan bisa menumbuhkan kembali minat masyarakat untuk bekerja di bidang pertanian terutama menanam padi. Selama ini, masyarakat Kabupaten Belu di bagian selatan tersebut hanya bekerja di ladang dengan menanam jagung dan singkong.(WJ/FR/AS/PO/S-6) Post Date : 23 Juni 2004 |