Dibutuhkan, Menteri Penanganan Situ

Sumber:Suara Pembaruan - 19 November 2005
Kategori:Drainase
KAWASAN MARGONDA - Di sepanjang Jalan Margonda kurang memiliki saluran air yang baik sehingga pada musim hujan berpotensi menimbulkan genangan air di badan jalan.

BANJIR, selamat datang lagi! Itulah kata-kata yang tepat untuk sebuah penantian rutin setiap tahun.

Bila November tiba, apalagi Desember makin mendekat, pembicaraan paling aktual warga Jabodetabek selain Natal adalah banjir. Warga dan pejabat kota sudah langganan jadi bulan-bulanan banjir.

Atau, sebaliknya, justru banjir itu merupakan proyek atau komoditas. Setiap tahun, masing-masing wilayah berlomba-lomba mengajukan anggaran rutin "penanggulangan banjir", yang sifatnya sekadar temporary. Ibarat penyakit, yang digarap adalah obatnya, sementara akar penyakitnya justru dibiarkan subur.

Seandainya anggaran dari setiap pemerintahan kota itu disatukan, ditambah biaya-biaya swadaya atau pribadi yang dikeluarkan masyarakat, lalu ditambah anggaran dari pemerintah pusat, sudah berapa jumlah uang yang akhirnya terendam banjir setiap tahun?

Benar, hujan adalah siklus alami dan kekayaan yang sekaligus juga kuasa dan anugerah Tuhan yang diberikan kepada umat manusia. Air hujan tidak akan terkendali, bahkan bisa menjadi bencana apabila manusia tidak mampu mengendalikannya dengan baik. Apalagi mengeksploitasi habis-habisan terhadap alam lingkungan hidup terus-menerus berlangsung.

Entah berapa kali pengamat lingkungan hidup atau ahli pengairan berteriak lantang bahwa penanggulangan banjir tak mungkin sifatnya parsial per wilayah/kota. Diperlukan pejabat setingkat menteri untuk menanggulangi secara komprehensif banjir di wilayah Jabodetabek, yang sekaligus pula melibatkan wilayah hulu Bogor dan Cianjur.

Hingga hari ini, kesungguhan pemerintah untuk itu masih "omdo" alias omong doang! Banjir tetap saja banjir. Malah semakin hari semakin parah keadaan dan jumlah korbannya (jiwa maupun materi).

Pembina Lingkungan Kampus Universitas Indonesia (UI), yang juga Koordinator Binaan Hutan Kota, Dr Ir Tarsoen Waryono MSc, baru-baru ini kepada Pembaruan mengatakan, Depok dikenal sebagai kota penyangga Ibukota yang secara alami memiliki kekayaan puluhan danau atau situ. Namun, karena tak dipelihara, hanya sebagian saja situ-situ itu berfungsi.

"Dengan tata ruang yang tidak teratur, situ-situ di Depok itu ke depan diambang kehancuran. Hancur karena airnya berpotensi tercemar, terutama dari limbah masyarakat, termasuk rumah tangga dan industri," katanya.

Menurut Tarsoen, salah satu fungsi situ adalah sebagai pengendali banjir, yang bukan hanya untuk kepentingan warga Depok, tapi juga untuk Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Seharusnya, penanggung jawab, pengatur, dan yang berwenang akan situ-situ itu adalah pemerintah pusat. Skala pusat yang dimanfaatkan, bukan saja untuk Depok, tapi komprehensif se-Jabodetabek atau yang dikenal sebagai konsep Pemerintahan Megapolitan.

"Namun bagi pemerintah pusat, masalah situ-situ merupakan prioritas ke-100. Seharusnya, bagi daerah yang memiliki situ, termasuk Depok, pemeliharaan situ itu merupakan skala prioritas nomor satu," kata dosen Geografi, Fakultas MIPA UI itu.

Pemerintah, katanya, harus membuat pejabat setingkat dengan menteri yang khusus menangani keberadaan situ-situ sebagai daerah penyangga air dan pengendali banjir. "Sekitar 90 persen daerah Jabodetabek tidak memiliki Ipal (Instalasi Pengelola Limbah, Red). Dasar aturannya sudah jelas, Keppres 32/90 tentang Kawasan Lindung yang mengatur kawasan sepadan atau penyangga situ-situ dan penggunaan mata air situ-situ sebagai kawasan budi daya," katanya.

Kurang Memanfaatkan

Sementara itu, Rektor (UI), Prof dr Usman Chatib Warsa menilai, Pemerintah Kota Depok selama ini kurang memanfaatkan UI dalam pengelolaan berbagai persoalan fungsi tata hijau, tata air, dan tata ruang kotanya, termasuk pemeliharaan situ-situ (danau) yang jumlahnya mencapai 25 buah.

Bahkan menurutnya, sebagai perguruan tinggi yang membuat Depok jadi kawasan bergengsi, banyak yang telah ditawarkan UI, namun tidak direspon dengan baik. Dia berharap, wali kota yang baru dan definitif nanti, lebih proaktif memanfaatkan UI sebagai sumber berbagai ilmu dan pengkajian tata kotanya.

"Kampus UI sebagai penyangga Kota Depok, luasnya 300 hektare. Letaknya sangat strategis, 90 meter di atas permukaan laut. Di sini, ada akar air yang terbaik untuk Jakarta, SDM-nya juga baik," katanya.

Karena itu, kampus UI juga diminta untuk menjadi daerah reservoar air, sebagai kawasan tampungan air supaya Jakarta tidak kekeringan. "Itu terus kami pelihara sebagai perwujudan falsafah tri dharma perguruan tinggi," kata Rektor UI, pada acara rehabilitasi Danau Mahoni yang berada di lingkungan UI Depok, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Depok Yayan Arianto, Kamis (17/11) kepada Pembaruan di kantornya mengatakan, Kota Depok akan bebas banjir kira-kira enam tahun lagi, atau sekitar tahun 2011 apabila ada anggaran yang cukup untuk itu. Masalah banjir, jalan serta lingkungan, kata mantan Kepala Bagian Tata Usaha PU itu, sangat terkait erat dengan pembagian anggaran APBD Depok.

Minimnya angagaran dikeluhkan oleh Yayan. Untuk seluruh biaya PU per tahun, baik untuk kepegawaian, penanggulangan banjir, perbaikan jalan maupun lingkungan, idealnya butuhkan anggaran Rp 512 miliar. Saat ini, pihaknya tengah mengajukan rencana anggaran PU untuk tahun 2006 sebesar Rp 77 miliar, atau naik sekitar 10 persen dari anggaran tahun 2005 yang besarnya Rp 70 miliar.

"Dari anggaran itu, khusus untuk penanggulangan banjir Rp 20 miliar, naik 10 persen dari tahun 2005 yang besarnya Rp 18 miliar," katanya.

"Dengan anggaran itu, kami melaksanakan tugas sebagai penyedia atau penyeimbang sarana dan prasarana utama, seperti saluran air (gorong-gorong/drainase, crossing), perbaikan/pembuatan jalan beton/aspal, turap dan pemeliharaan situ. Ini semua seharusnya mengacu pada master plan PU yang masih dalam perencanaan," tandasnya.

Proses revisi RTRW Kota Depok nanti, Pemkot Depok akan melibatkan ahli dari UI, sebagai langkah awal realisasi kerja sama Pemkot dengan kampus tersebut, dalam merumuskan Master Plan Kota Depok 2020.

Bulan Juni lalu, Pemkot Depok dan UI menandatangani nota kesepahaman menyangkut rencana penyusunan master plan tersebut.

Biar masih lama, tidak mengapa. Harapan warga, semoga warga dan pejabat tidak menjadi bulan-bulanan banjir. Juga, rakyat pasti berharap semoga banjir tidak menjadi komoditas. (R-8)PEMBARUAN/YC KURNIANTORO

Post Date : 19 November 2005