|
Kita biasa memandang sampah sebagai barang yang sudah benar-benar tidak dapat dipakai lagi. Namun, pikirkan sekali lagi, apakah plastik pembungkus makanan yang kita gunakan sehari-hari hanya berusia satu kali pakai? Atau bagaimana nasib sisa potongan sayur yang tidak termasak, atau sisa makanan? Di Jepang, proses pengolahan sampah telah dimulai dari rumah berupa pemilahan sampah. Tentu saja cara pikir itu bukan hasil edukasi yang instan. Salah satu staf Pemerintah Kota Kakegawa mengakui butuh waktu dua tahun secara kontinu untuk mengedukasi warga. Tempat pengolahan sampah pun berfungsi sebagai pusat edukasi pengolahan limbah rumah tangga, misalnya pusat pengolahan sampah Kanykyoshigen di Kakegawa, Provinsi Shizuoka, Jepang. Seperti kebanyakan pengolahan sampah di Jepang, Kankyoshigen juga terlihat modern dan bersih. Luas area itu mencapai 47 ribu meter persegi. Pada bagian depan,terdapat ruang pamer yang juga berfungsi sebagai galeri pendidikan. Saat masuk ke ruangan, segera tercium aroma khas sampah yang mampir di hidung. "Harap maklum, ini memang sampah beneran," kata Keiki Kishii, staf departemen teknis pusat pengolahan sampah Kankyoshigen di Kakegawa, Shizuka (17/7). Kanykoshigen Gallery menjadi tempat edukasi bagi pelajar di Jepang. Saat Media Indonesia berkunjung ke tempat itu, sejumlah anak sekolah dasar berkerumun mendengarkan penjelasan seorang staf galeri. Mereka mencatat bagaimana membantu orang tua memilah sampah di rumah, sekaligus bahayanya sampah yang berlebih bagi bumi. Pada ruangan itu juga terdapat kaca-kaca besar untuk melongok kegiatan pemrosesan sampah di lantai dasar. Tampak para petugas menyortir sampah, sampah yang tertumpuk dan dipadatkan hingga 1.000 ton, sebelum akhirnya diolah dalam tanur-tanur tinggi. Nilai investasi awal Kankyoshigen ialah 3,6 miliar yen (sekitar Rp302 miliar) dan mulai beroperasi sejak 5 September 2005. Setiap hari, rata-rata 70 mobil truk biru berkapasitas 1 ton sampah masuk ke area pengolahan sampah yang beroperasi 24 jam sehari. Mereka mengolah rata-rata 500 ton sampah per minggu, pasokan penduduk Kakegawa dan Kikugawa. Hampir 60% di antaranya berupa sampah plastik dan kertas. Sampah yang dapat dibakar (burnable) dan tidak dapat dibakar (unburnable) diolah di tempat itu dan menghasilkan komposit untuk membuat concrete, sejenis bahan material bangunan, juga tenaga listrik berkapasitas 1700 Kwh (1,7 Mw) untuk menjalankan mesin pengolah sampah di Kankyoshigen. Di Jepang, pembakaran sampah dengan insinerator merupakan metode pengolahan sampah paling umum. Proses pembakaran dilakukan dalam insinerator, berupa tanur tertutup rapat dengan tekanan yang aman, dan panasnya dimanfaatkan menjadi tenaga listrik yang dibutuhkan mesin pengolah itu. "Jadi ini semacam swadaya sampah," kata Kishii lalu tersenyum. Di Indonesia, wacana ini juga sempat tersiar sejak akhir tahun lalu. Misalnya di Kabupaten Badung, Bali. Perusahaan asal Jepang, Kajima Coorporation, bahkan sempat menunjukkan ketertarikan mengolah sampah di TPA Leuwigajah Bandung. Potensi listrik sampah TPA Leuwigajah mencapai 12,5 Mw. Proses pembakaran sampah di Kankyoshigen berlangsung 24 jam sehari kecuali saat perawatan alat sekali sebulan. Terdapat ruang kontrol di area itu, yang digawangi 20 orang. Mereka bekerja sistem sif 12 jam dan terbagi dalam empat kelompok. Kankyoshigen juga sekaligus berfungsi sebagai tempat pembuangan akhir, dengan material residu tidak lebih dari 5% ukuran asal. Sebagai perbandingan, pusat pengolahan sampah di Kawasaki menghasilkan residu akhir tidak lebih dari 1% berat asal, berbentuk kapsul padat dan dapat digunakan untuk reklamasi di atas laut. Sementara itu, perjalanan sampah plastik dan material lain yang masih bisa diolah tidak berakhir di sini. Sejumlah perusahaan swasta siap mengambil dan mengolahnya menjadi berbagai macam produk, mulai dari kemasan hingga produk tekstil.(Sica Harum/M-2) Post Date : 24 Agustus 2008 |