YANA Sofiana, 45, Wakil Ketua Badan Pengelola Sistem Air Bersih (BPSAB), menempati ruang yang sama dengan ibu-ibu pengurus PKK di Desa Ciburial, Kecamatan Cime nyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sejak 1999 bapak tiga anak ini tetap tekun menggeluti penyaluran air kepada warga di desanya. Padahal dana biaya sambungan baru yang punya potensi pemasukan kelompok bisa dijadikan jaminan. Kami tidak dipandang lembaga perbankan. Padahal potensinya sangat besar. Dana biaya sambungan baru sebenarnya bisa dijadikan jaminan."
Semula jika akan mengambil air bersih, warga Desa Ciburial harus berjalan sejauh 10 kilometer. Pada 1999 ada proyek pipanisasi sepanjang 16 kilome ter dari mata air ke bak penampungan terdekat di desa.
“Kami tidak menggunakan listrik, tetapi gaya gravitasi karena letak desanya di bawah,” ujar Yana kepada Media Indonesia saat berkunjung ke desa itu bertepatan dengan Hari Air Sedunia, beberapa waktu lalu.
Dari bak penampungan, jelas Yana, air dialirkan ke rumah warga menggunakan pipa-pipa. Saat ini tercatat 630 kepala keluarga (KK) yang berlangganan. Tarif yang dikenakan berdasarkan golongan A, B, dan C.
Perbedaan itu didasarkan atas kemampuan ekonomi warga, golongan A dikenai tarif Rp1.000/m3, B Rp1.200/ m3, dan C Rp1.500/m3. Biaya sambungannya juga berbeda, untuk golongan A dibebankan Rp2 juta, B sebesar Rp3 juta, dan C sebesar Rp6 juta. “Tapi pembayarannya bisa dicicil sampai 10 kali,” ungkapnya.
Meski terbilang pelanggannya cukup banyak, itu baru sekitar 7% dari 4.500 KK warga Desa Ciburial yang terlayani. Kendala alam lereng yang berbukit-bukit sehingga kerap longsor yang mengakibatkan pipa patah atau bergeser.
Proyek pengadaan air bersih sudah digulirkan pemerintah sejak 1990-an. Khususnya bagi masyarakat yang tidak terjangkau layanan air bersih. Namun kerap dijumpai, proyek ini tidak berlangsung lama meski kelompok swadaya masyarakat (KSM) dibentuk untuk mengelolanya.
Akibatnya, infrastruktur yang telah dibangun tidak ada yang merawat, terbengkalai, hingga akhirnya menjadi museum.
Proyek yang biasanya disingkat MCK (mandi, cuci, kakus) dipelesetkan menjadi ‘Museum Cipta Karya’ (Cipta Karya adalah nama lain Kementerian Pekerjaan Umum, karena program ini umumnya dilaksanakan kementerian tersebut).
Survey Water Sanitation Program (WSP) Bank Dunia pada 2008 mencatat di lima kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Ti mur terdapat 600 KSM yang menyediakan air bersih dengan sistem pemipaan. Diperkirakan satu di antara empat KSM atau sekitar 150 KSM mati.
Banyak kendala yang mengimpit mereka. Mulai manajerial yang masih sukarela, keuangan, kelembagaan yang belum jelas, hingga biaya perawatan termasuk tarif listrik bisnis yang dibebankan kepada mereka.
Padahal potensi KSM sangat besar dan mampu menutup kesenjangan pasokan air bersih yang dikelola perusahaan daerah air minum (PDAM).
Sementara itu, Wawan Sarifudin, Ketua KSM BPSAB Gunung Sari, Ciranjang, Cianjur, mengatakan proyek air bersih di desanya bergulir pada 2007.
Saat itu pengelolaannya masih kacau. Pada 2008 dilakukan pembenahan dan dilakukan jaringan pipanisasi. “Ada bantuan dari pemerintah untuk jaringan. Waktu itu baru 20 KK tersambung, sekarang sudah 194 KK,” ujar Wawan.
Jumlah itu, jelas Wawan, masih jauh dari kebutuhan desanya. Di Desa Gunung Sari ada 2.000 KK, yang separuhnya masih kesulitan air bersih. Warga desa umumnya mengambil air dari sungai yang berjarak belasan kilometer. “Kalaupun dengan sumur, airnya kurang baik, keruh,” tukasnya.
Untuk perluasan jaringan, diakui Wawan, pihaknya sudah didesak warga yang rumahnya belum dialiri air. Sebenarnya penambahan tersebut memungkinkan hingga 400 pelanggan, tapi kekurangan dana.
“Bank tidak berani meminjamkan dananya. Alasannya kami tidak ada garansinya. Padahal 95% pelanggan membayar dengan tertib dan uang pasang baru Rp600 ribu juga sudah siap,” keluhnya.
Hal senada dikatakan Ketua BPSAB Desa Kademangan, Mande, Cianjur, Hasanudin. Dia mengakui perbankan tidak memercayai mereka. Padahal KSM telah berdiri sejak 2002.
Iuran pelanggan lancar dan sangat potensial untuk dikembangkan. “Kendala lain adalah tarif listrik dikenai bisnis 2. Kami 50% untuk sosial. Gaji pengurus juga ala kadarnya, sukarela,” imbuhnya.
Problem serupa dialami KSM yang berada di permukiman padat di Desa Sukamenak, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung. Ketua KSM Effendi menuturkan, sejak masuk proyek air bersih pada 2007 hingga kini sudah ada 400 KK tersambung. Itu baru memenuhi 7% dari 6.000 KK di sana.
“Kami terapkan tarif progresif, tergantung pemakaian dan kemampuan ekonominya. Ini seharusnya bisa jadi jaminan bank,” ujar dia.
Saat dimintai konfi rmasi masalah ini, Bupati Bandung H Dadang Naser mengatakan sudah dicarikan solusinya. Jika bank-bank besar tidak mau, Bank Jabar dan bank perkreditan rakyat di wilayahnya akan didorong meminjamkan dana kepada mereka.
“Jika kendala badan hukum, bisa saya buatkan peraturan bupati sebagai payung hukumnya. Permodalan bisa dari BPR yang ada,” tukas dia.
Menurut Dadang, KSM mampu menutup kesenjangan antara kebutuhan air bersih dan kemampuan PDAM. Hal itu merupakan potensi yang selama ini diabaikan. Dana dari kabupaten sendiri terbatas.
“Untuk air bersih tahun ini dialokasikan Rp6 miliar untuk 267 desa. Kecil tapi ada, dukungan perbankan memang dibutuhkan,” katanya.
Yosa Yuliarsa, Koordinator Regional Communications WSP, menambahkan bahwa pihaknya memberi bantuan kepada KSM sebatas manajerial, penatalaksanaan administrasi keuangan, dan sistem perencanaan.
Sebab, banyak dijumpai KSM yang ada masih dikelola sangat amatiran. Padahal potensinya sangat besar. “Mereka relawan, tidak ada gaji yang pasti, tetapi mau bekerja untuk masyarakat. Kami mengasah kemampuan manajerial mereka sehingga menjadi bankable,” imbuhnya. MUHAMMAD FAUZI
Post Date : 05 April 2011
|