|
JAKARTA (Media): Dalam pengelolaan pemerintah pada masa penjajahan Belanda dulu, perusahaan air minum (PAM) berjalan baik. Sekarang setelah hampir 90% sahamnya dipegang asing malah eksternalitas, efisiensi, dan kualitas layanannya makin buruk, sementara biaya yang dibayarkan oleh publik justru makin mahal. "Apalagi ada kerja sama operasi (KSO) antara PAM dan pihak swasta yang menyebabkan adanya water tariff dan water charge yang harus dibayarkan konsumen dan pemerintah kepada mereka. Subsidi silang juga tidak jalan. Ini malah merugikan pemerintah dan rakyat," kata Heini Nababan dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA), di Jakarta, Sabtu (5/6). Ia bersama anggota Divisi Kampanye dan Pendidikan Publik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nurhidayati dan Rasyid Hidayat, Ketua Panja RUU Sumber Daya Air DPR menjadi pembicara Bincang Sabtu bertajuk Krisis Air dan Privatisasi Sumber Daya Alam yang diadakan Media Indonesia dan Radio Trijaya di Mario's Place, Jakarta. Diskusi diadakan dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Sabtu, 5 Juni 2004. Menurut Heini, setelah diprivatkan sekalipun, manajemen SDA tidak menjadi lebih baik. Ia mencontohkan, penanganan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) oleh dua perusahaan swasta yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Dalam prosesnya, Heine mengatakan ada semacam tarik-menarik antara komisi, pemerintah, dan swasta di DPR dalam proses pembahasan untuk mengeluarkan produk mengenai pengelolaan SDA ini. "Ada proyek mengenai Water Resources Sector Adjustment Loan (Watsal) yang mengharuskan pemerintah memenuhi beberapa item tertentu dalam perjanjian dengan asing agar dapat mendapat pinjaman luar negeri." Tetapi, hal tersebut dibantah Rasyid Hidayat. Ia mengatakan dalam pembahasan UU tersebut, pihaknya tidak bersedia didikte siapa pun termasuk oleh pihak pemberi pinjaman. "Memang dari keseluruhan fungsi legislasi, bujet, dan kontrol DPR belum sepenuhnya bisa dijalankan dengan baik. Kami juga mendukung pemerintah sebaiknya melakukan kerja sama operasional saja dengan asing, jangan menjual share." Dalam pandangan Nurhidayati, Undang-Undang No 7/2004 mengenai Sumber Daya Air hanya menyebabkan makin terbukanya kesempatan melakukan liberalisasi dan privatisasi terhadap sumber daya alam (SDA) Indonesia hingga masyarakat makin kesulitan mengaksesnya. SDA akan menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi. Jika dikelola oleh swasta nasional maupun perusahaan asing, pasti lebih bersifat profit oriented. "Nanti masyarakat pasti membayar untuk mendapatkannya. Air sekali pun bukan lagi barang sosial, namun barang ekonomis." (AD/E-1) Post Date : 07 Juni 2004 |