|
"KALAU kondisinya seperti ini, julukan Bogor bisa bertambah. Bukan lagi Kota Hujan atau Kota Sejuta Angkot, tapi Kota Sampah," keluh Rahman, warga Kebon Pedes, Kota Bogor, sambil memandangi tempat penampungan sementara (TPS) sampah di wilayahnya yang sudah tumpah ke jalan, kemarin. Ibarat lirik lagu, di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang. Di Kota Bogor, di mana-mana ada sampah. TPS di depan rumah warga maupun di sepanjang jalan protokol sudah tidak terurus. Lalat hijau dan bau menyengat dibawa angin masuk ke rumah. Bahkan di beberapa tempat, sampah telah berceceran ke jalan raya. Di jalan protokol, seperti Kebon Pedes, Ahmad Yani, Sudirman, Sawo Jajar dan Pajajaran, yang biasa bersih, kini muncul pemandangan baru, tumpukan sampah. Pemandangan tersebut sudah menghias Kota Bogor sejak awal pekan lalu. Di Jalan Kebon Pedes, kondisi terparah terlihat di depan SMK Tri Dharma atau depan Kantor Kecamatan Tanah Sareal. Sampah di TPS meluber hingga ke jalan. Akibatnya, para siswa harus menutup hidung ketika melintas. Di sepanjang Jalan Ahmad Yani, tidak kurang dari 20 TPS mengalami kelebihan kapasitas. "Satu hari saja sudah banyak, apalagi sampah empat hari, jelas menumpuk. Belum ada yang mengangkut. Kami enggak kuat mencium baunya," keluh Nenah, warga setempat. Lebih miris lagi kondisi sampah di Jalan Sudirman, tepatnya di air mancur, yang selama ini menjadi tempat nongkrong warga. Lokasinya persis depan Bogor Permai, pusat pertokoan tersohor di Kota Bogor. Sampah-sampah yang berserakan membuat suasana mewah menjadi kumuh. Begitu juga dengan TPS di depan Taman Wisata Peranginan. Atmosfer di sana tidak lagi sejuk, tetapi bau. Lain lagi jika melewati Jalan Paledang. Isi perut langsung terkocok ketika menghirup bau menyengat. Persisnya ketika melintasi jalan depan Gumati Cafe atau Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bogor. Penyebabnya adalah bau menyengat. Belasan truk bermuatan ribuan ton sampah parkir di sana karena lokasi menuju TPA Galuga diblokade warga Kampung Cisasak. Permukiman sekitar Kantor DLHK pun tercemar bau. Keberadaan truk sampah itu juga berdampak pada usaha warga setempat, khususnya yang berdagang makanan dan membuka restoran. "Pembeli cuma berhenti sebentar. Begitu mencium bau sampah, mereka naik lagi ke mobil tanpa membeli apa-apa," keluh Ratna, pemilik warung nasi. Rafinus Sukri, Kepala DLHK Kota Bogor, mengaku sangat kelimpungan. Ia bingung karena kewenangan bukan di tangannya. Secara administrasi, ia sudah memperpanjang masa kontrak penggunaan TPA Galuga dengan Pemerintah Kabupaten Bogor. Sementara itu, warga keberatan wilayahnya dilewati truk-truk sampah terbuka dan air lindi mencemari sawah mereka. Menurut Ahmad, salah satu warga yang memblokade jalan, sawah warga seluas 12 ha tidak lagi berproduksi karena tercemar air buangan sampah. Warga minta ganti rugi Rp3,3 miliar. "Jika tidak ada ganti rugi, truk sampah enggak boleh melintas di sini lagi," tegasnya. (Dede Susianti/J-1) Post Date : 03 Agustus 2008 |