|
Tak tampak ada perbedaan antara tempat pengolahan sampah di Bekasi ini dan pengolahan sampah lain. Tetap, terlihat adanya timbunan sampah organik dan anorganik. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, baru akan disadari ada hal yang berbeda di tempat ini. Jika tempat pengolahan pada umumnya banyak menghasilkan cairan leachate (lindi) disertai bau menyengat yang mengganggu dan banyak lalat yang mengerubungi, lain halnya dengan tempat tersebut. Walaupun sama-sama mengelola sampah, di tempat ini kita tidak akan menemukan lindi ataupun lalat yang beterbangan mengelilingi sampah-sampah. Bahkan, bau yang ditimbulkan pun hanya tercium samar-samar. Begitulah keadaan tempat pengolahan sampah di Desa Jati Murni, Bekasi milik Yayasan Rumah Perubahan (YRP). Melalui Gerakan Rumah Perubahan (GRP), YRP merancang sistem pengolahan sendiri dengan masyarakat sekitar sebagai laboratorium percontohan. Di tempat ini seluruh sampah, baik organik maupun anorganik berubah menjadi hal yang produktif. Jika awalnya sampah merupakan hal yang mengganggu, di tempat ini sampah menjadi hal yang menghasilkan dan menjanjikan. "Sampah apabila ditangani secara tepat dapat memberikan manfaat dan memiliki nilai ekonomi," ujar salah seorang penggagas YRP, Hidayat. Hidayat mengatakan, apa yang YRP lakukan dalam mengelola sampah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang orang lain lakukan, hanya di tempat ini semua tahapan dikombinasikan menjadi satu proses yang utuh yang ia sebut sebagai manajemen sampah. "Dari dulu hingga saat ini, sampah ditangani hanya dengan cara angkut buang. Dulu lahan masih tersedia, sedangkan saat ini mendapatkan lahan yang bisa dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA) sudah sulit," ujarnya. Ia mencontohkan, bagaimana aksi-aksi protes dari masyarakat yang menentang agar tempat mereka tidak dijadikan TPA. "Oleh karena itulah, diperlukan solusi yang dapat menjawab permasalahan tersebut. Bagaimana caranya masalah sampah dapat ditangani tanpa menimbulkan masalah lain," ungkapnya. "Mengolah sampah itu gampang-gampang saja namun diperlukan perhitungan matang dan alat kontrol," ujar Hidayat. Ia memaparkan jika saja setiap orang mau berpikir pintar, proses pengelolaan sampah harus dihitung secara detail, mulai dari awal sampai akhir. "Mulai dari bagaimana mengumpulkannya, kemudian hendak diapakan dan mau dijadikan apa hasil akhirnya. Termasuk semua biaya yang dikeluarkan," ujarnya. Ia mencontohkan, perbandingan waktu pengumpulan sampah yang biasa dilakukan dengan cara yang YRP lakukan. "Cara konvensional mengangkut sampah dari setiap rumah membutuhkan waktu 6 menit karena bak sampah yang dimiliki terbuat dari semen sehingga dalam 1 jam hanya 10 rumah. Kalau waktu kerja efektif hanya 6 jam, yang terangkut hanya 60 rumah," ujarnya. Dengan penghitungan tersebut, Hidayat menjelaskan, biaya pengangkutan akan ditanggung 60 keluarga. Jika seandainya sekali angkut biaya yang dibutuhkan Rp 1 juta, setiap rumah menanggung biaya Rp 15.000,00 per bulan. Oleh YRP, cara tersebut digantikan dengan memberikan drum-drum berkapasitas 100 liter. "Dengan drum, kami mengajak masyarakat berpikir lebih pintar dan kolektif," ujar Hidayat. Drum diletakkan di beberapa titik pengangkutan. Setiap drum dikenakan biaya Rp 30.000,00/bulan yang bisa dibagi untuk 2-5 keluarga, sehingga biaya yang ditanggung Rp 6.000,00-Rp 15.000,00, dengan catatan setiap drum diangkut setiap hari. "Jadi kalau seandainya ada drum yang tidak diangkut setiap hari, masyarakat boleh tidak membayar," ujarnya. Biaya tersebut dibagi dengan porsi Rp 5.000,00 bagi RT/RW dan Rp 25.000,00 bagi pengelola. Sedangkan untuk estimasi waktu, dengan menggunakan drum, waktu pengangkutan setiap titik hanya 1,2 menit, dalam 1 jam terdapat 40 drum yang terangkut. Dengan waktu kerja efektif hanya 6 jam, 240 drum dapat diangkut. Jika setiap drum dibagi 5 keluarga, dalam sehari sampah 1.200 KK tertangani. Kemudian untuk hitungan biaya, 1.200 KK dikalikan Rp 6.000,00, jumlah yang didapat Rp 7,2 juta. Biaya yang dikeluarkan untuk 1 sopir dan 2 kernet, solar serta mobil angkut sekitar Rp 5 juta, maka pengelola pun masih memiliki keuntungan Rp 1 juta. "Kalau untung, ngangkut sampah juga rajin. Di situlah perbedaan awal yang dilakukan YRP," katanya. Drum digunakan sebagai alat kontrol bagi masyarakat. Dengan menggunakan drum, masyarakat diajarkan untuk berbagi dan bertanggung jawab karena diperkenalkan konsep swadaya. Sampah harus diletakkan di dalam drum. Jika tercecer, tidak akan diangkut atau apabila volumenya melebihi, harus dicicil sedikit demi sedikit sampai habis. Kemudian yang paling mendasar adalah warga di desa tersebut harus membuang sampah pada waktunya yaitu pukul 10.00 WIB. "Jadi di sini kami menerapkan pada masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan pada waktu yang tepat," ujar Hidayat. Lebih ekonomis Begitu juga yang dikatakan Roy Kuncoro, salah seorang penggagas YRP, yang menjelaskan sistem ini pada dasarnya hanya menggabungkan beberapa sistem pengolahan yang telah ada. Namun, jika dilakukan secara parsial sistem tersebut tidak memiliki nilai ekonomis tapi begitu digabung jadi satu kesatuan flow process yang dikelola dengan baik, proses pengolah sampah pun jadi memiliki nilai ekonomis. "Bottom line-nya, lingkungan bersih melakukan bisnis yang berbasis lingkungan," ujarnya. Baik Hidayat maupun Roy menjelaskan, banyak nilai yang terkandung dalam sampah dan sangat disayangkan jika sampah sekadar diangkut dan dibuang ataupun dibakar. "Di dalam sampah tersimpan energi paling besar. Di sana ada biofuel dan biomassa yang dapat diperoleh secara gratis dan kalau diolah dengan benar akan menghasilkan keuntungan," ujar Hidayat. Ia menjelaskan, setelah dikumpulkan dari masyarakat, sampah tersebut dibawa ke satu kluster --tempat pengelolaan-- untuk dihancurkan atau dicacah menjadi bagian yang lebih kecil. Dengan dicacah, volume sampah dapat berkurang hingga 30 persen karena menjadi lebih padat dan menghemat biaya truk hingga 60 persen. Setelah dicacah, didiamkan selama 1-2 hari agar mengering. Pasalnya setelah dicacah, sampah akan terbelah dan terbuka hingga udara dapat masuk. Dengan terkena udara, walaupun didiamkan, proses fermentasi pada sampah telah dimulai. "Tidak ada lindi yang dihasilkan dan larva pun mati," ujar Roy. Setelah didiamkan, sampah diayak untuk memisahkan antara yang halus dan yang kasar dan juga antarplastik. Sampah organik halus dapat langsung dijual sebagai kompos dengan harga Rp 8.000,00 per 20 kg. Sedangkan sisanya, berupa plastik dan energi biomassa akan dipress untuk dijual ke pabrik daur ulang dan yang membutuhkan biomassa. Untuk 1 kg plastik dihargai Rp 5.000,00 oleh pabrik daur ulang, sedangkan untuk biomassa Rp 200,00. "Namun kita tidak bisa mengecilkan nilai yang kecil karena setiap pabrik yang menggunakan boiler membutuhkan biomassa sebagai sumber energi," ujar Roy. Saat ini, YRP telah memiliki kesepakatan dengan pabrik Indocement untuk memasok biomassa, karena kalori yang dihasilkan melebihi kalori yang dihasilkan batu bara, mencapai 9.000 kalori. Roy menjelaskan, Indocement membutuhkan biomassa mencapai 10.000 ton setiap bulannya, sedangkan YRP baru mampu memasok sekitar 300-500 ton. Bayangkan jika Rp 200,00/kg dikalikan 10.000 ton, setiap bulannya sekitar Rp 2 miliar bisa dihasilkan dari sampah yang dijadikan biomassa. Selain lingkungan bersih dan tidak terdapat sampah yang menggunung, sistem ini pun menghasilkan nilai ekonomi yang dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, Rhenald Kasali, sebagai salah satu penggagas YRP mengatakan, konsep pengolahan ini adalah pengolahan sampah secara komunitas. Idealnya setiap 3000 KK memiliki satu mesin pengolah dalam radius 3 km agar pengolahannya lebih cepat dan murah. "Lahan yang digunakan pun tidak harus sangat luas, cukup dengan menyediakan tanah 500m2-700m2," ujarnya. Sedangkan mesin pengolahnya bisa didapatkan dengan harga Rp 20-50 juta, bergantung pada kapasitasnya. Di YRP sendiri, mesin yang digunakan mampu memproses 30 kubik sampah per hari bagi 3.000 KK. Dengan menggunakan konsep ini, setiap RW atau kelurahan dapat memiliki sistem pengolahan sampah masing-masing sehingga masalah sampah pun dapat diselesaikan. (Yulistyne) Post Date : 11 April 2008 |