|
Bandung dan Bekasi (dua kota di Jawa Barat) terkotor di Indonesia. Sementara Wakil Gubernur Jawa Barat dengan ekspresif menyatakan kekecewaan, Pak Dada Rosada yang Wali Kota Bandung mengaku tidak kecewa, bahkan tampaknya sangat sumamprah terhadap penilaian yang merupakan hak sang penilai. Sejalan dengan itu pula, pada hari Selasa tanggal 13 Juni 2006, sekelompok lebih kurang 60 orang (yang merasa diri peduli kebersihan kota dan cinta kepada kota bandung) yang diprakarsai The Bandung Heritage Society dengan Frances Affandi-nya, berkumpul di Bale Pasundan Hotel Panghegar untuk berbincang bagaimana "kita" bisa ikut menyelesaikan masalah sampah yang jumlahnya kurang lebih 650.000 m3 dan sudah melebihi kemampuan pengolahan dari Dinas Kebersihan (baca : Pemerintah!) Kota Bandung. Prof. Otto Sumarwoto yang pakar lingkungan dalam pertemuan tersebut sangat sugestif menilai sampah adalah sebagai resources, dengan semangat yang menggebu menyampaikan alternatif untuk mengubah sampah organik (yang setelah dipilah dari sampah an-organik) untuk dijadikan kompos yang bermanfaat untuk pertanian. Pondok Karinda (Karang Tengah Indah) di Jakarta Selatan yang pemiliknya adalah Pak Djamaludin (mantan Menteri Kehutanan RI) diintroduksikan sebagai upaya yang baik bagaimana mengubah sampah tersebut menjadi kompos, dengan pengolahan yang sederhana dan sebatas lingkungan rumah tangga dalam lingkungan rukun tetangga. Pak Otto sangat konsisten untuk konsep bahwa sampah jangan dibakar, karena selain akan menghasilkan dioksin yang tidak bagus dihirup manusia, juga akan membuat sampah menjadi limbah buangan, bukan sumber daya olahan. Konsekuen dengan pendapatnya, Prof. Otto sangat mengkritisi pembakaran sampah di tempat sampah Kantor Gubernur di Gedung Sate. Pak Otto menggarisbawahi, bahwa untuk situasi Kota Bandung yang berada pada sebuah cekungan, penanggulangan sampah dengan cara dibakar adalah sangat tidak baik apalagi menguntungkan. Sejalan dengan Prof Otto, Prof. Sobirin yang juga menggeluti ihwal lingkungan, menawarkan alternatif solusi yang identik dengan apa yang dilakukan di Karinda, dengan penerapan teknis yang lebih sederhana, bahkan untuk pengolahan di tingkat rumah tangga bisa dengan menggunakan alat bantu karung plastik dan ember bekas. Pak Sobirin memberikan proses adaptifnya dengan memperlihatkan tanaman padi yang ditanam pada pot dan menggunakan kompos produksinya sendiri untuk pemupukannya. Pada skala yang lebih besar, Pak Sobirin mengintroduksi bahwa penggunaan kompos untuk areal sawahnya yang 1 hektare, produksi pada saat panen bisa mencapai 9,5 ton gabah. Pada pertemuan ini juga hadir beberapa orang aktivis LSM dan beberapa figur wanita, seperti Ibu Rukasih, Ibu Aang Kunaefi, Ibu Popong, Ibu Suhud Warnaen, Ibu Ana Anggraeni, dan Ibu Yani Aman, yang dengan tekun mengikuti pertemuan ini sampai selesai pukul 22.30 WIB. Pertemuan ini, sekali lagi, dimaksudkan sebagai ekspresi kepedulian warga -paling tidak peserta yang hadir- terhadap kebersihan, kenyamanan dan keamanan Kota Bandung, yang oleh Kang Herman Rukmanadi disampaikan sebagai pra-syarat daya tarik untuk kedatangan wisatawan ke suatu destinasi wisata. Ibu Rukasih Dardjat yang kebetulan juga adalah dari LIPI, kembali mengingatkan bahwa LIPI bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 1993 telah menguji coba pembuatan insinerator untuk pengelolaan sampah, bahkan pada saat itu menjadi percontohan untuk 21 provinsi lainnya di Indonesia. Mendukung gagasan tanggung jawab individual dalam pengelolaan dan pengolahan sampah, Ibu Yani yang kebetulan pengusaha, menyampaikan agar gagasan cara penanggulangan sampah yang diintroduksi oleh Pak Otto dan Pak Sobirin bisa segera disebarluaskan kepada masyarakat untuk replikasi di lapangan. Mendukung demikian banyak pemikiran, Ibu Hj. Aang Kunaefi, ketika diminta berbicara, tidak dapat menyembunyikan kemarahannya kepada petugas (Dinas Pertamanan atau Kebersihan?) Kota Bandung, ketika tanaman melati di depan rumahnya di Jln. Karang Tinggal dicabuti petugas tersebut, meskipun digantikan dengan tanaman pelindung yang besar. Yang cukup penting pencerahan dari Ibu Aang adalah, bahwa penanganan sampah harus dimulai dari diri dan rumah sendiri. Mendukung untuk pengelolaan sampah, Prof. Rachman Maas mengintroduksi bahwa pembuatan kompos dari tinja manusia pun, seperti yang dilakukan di RRC tidak masalah, selama urine atau tinja yang jadi kompos itu untuk digunakan sebagai pupuk. Lebih jauh Pak Rachman Maas memberikan pencerahan spiritual, bahwa yang harus dicari oleh manusia (terutama Muslim) adalah bukan hanya kepuasan dan keamanan di dunia, tapi juga keselamatan di akhirat. Dengan menempatkan kebersihan sebagai pangkal keimanan, Pak Rachman Maas sangat menggarisbawahi bahwa pengelolaan sampah harus dimulai dari/secara individual, didukung dengan kadar keimanan kepada sang Khalik. Ibu Ana Anggraeni, bahkan mengingatkan peran seorang anak murid taman kanak-kanak untuk tidak membuang sampah sembarangan. Bandung sudah divonis sebagai salah satu kota terkotor di republik ini, bahkan Pak Yusuf Kalla yang Wakil Presiden mengajak kita untuk tertawa. Ir. Achmad Setjadipradja yang pakar teknik penyehatan mengingatkan bahwa sampah yang pada "episode" ketiga ini menumpuk sebanyak 650.000 m3, apabila dibariskan di jalan raya akan menumpuk dari Cibeureum di batas barat Kota Bandung sampai ke Ujungberung di batas timur setinggi 7 meter. Luar biasa!! Produksi sampah sampah di Kota bandung yang diintroduksi pada pertemuan ini, adalah sebanyak 8.500 m3 per hari, dan 5.000 m3 di antaranya adalah produksi dari rumah tangga, sisanya berasal dari pasar tradisional, mal, perkantoran, jalanan, dan fasilitas publik lainnya. Penulis melihat bahwa apabila 5.000 m3 atau paling tidak 50% sampah di Kota Bandung bisa diselesaikan di tingkat rumah tangga dan rukun tetangga, tugas Dinas Kebersihan Pemkot Bandung dengan 75 buah (yang jalan hanya 55 buah) armada truknya, akan lebih ringan. Mendukung kepada aplikasi tanggung jawab masyarakat secara individual dalam pengelolaan dan pengolahan sampah ini, proses teknis yang perlu ditempuh adalah bagaimana sampah itu bisa dipilah antara sampah organik dan anorganik. Bagaimana sampah yang basah dipisahkan dari yang kering, makanan sisa dipisahkan dari plastik dan kertas. Sementara sampah organik dan sisa makanan bisa diolah menjadi kompos dengan proses mikroorganisme yang sangat sederhana, kata Pak Sobirin dan Pak Otto, plastik, kaleng dan kertas bisa didaur ulang, bahkan bisa mendatangkan rezeki bagi pemulung. Adalah Mak Enoy yang tinggal di Jln. Dago Pojok. Kegiatan rutinnya setiap hari setelah sembahyang subuh, dia membawa sapu lidinya dan menyapu jalan lingkungan dan beberapa halaman rumah tetangganya dengan kesadarannya sendiri, tanpa memikirkan upah atau balas jasa lainnya. Dia juga melakukan pemilahan sampah basah dan ranting-ranting daun dari kertas, kaleng atau plastik, dan kaleng. Plastik, dan kertas bekas itu ia siapkan di tempat yang tetap untuk pada waktunya akan diambil pemulung. Kami, peserta pertemuan, secara spontan memberikan aplaus kepada Mak Enoy. Ternyata, di zaman masyarakat pedesaan yang menolak di wilayahnya dijadikan TPS atau TPA kecuali dengan "pembayaran", bahkan di kota Bandung masih ada sosok Mak Enoy yang tanpa pamrih ingin hidup dalam lingkungan yang bersih, nyaman dan aman. Hidup Mak Enoy. Mari kita cari 1.000 - 10.000, bahkan ratusan ribu Mak Enoy lainnya. Mari kita hidup dalam kota yang bersih, aman dan nyaman. Tidak mudah memang, tapi sebagaimana tausiah dari Rachman Maas diatas, terutama kepada muslimin, dalam hidup ini yang harus dicari bukan hanya sekadar kepuasan dan keamanan di dunia, tapi juga keselamatan di akhirat. Itulah sekadar ungkapan kepedulian dari kami yang pada tanggal 13 Juni 2006 yang lalu berkumpul di Bale Pasundan Hotel Panghegar dari pukul 6.30 s.d. 22.30 WIB, dan menamakan pertemuan kami sebagai Gerakan Mak Enoy! Terima kasih Pak Hilwan Saleh dengan Hotel Panghegar-nya yang telah menyediakan santap malam dengan enak. Sebelum lupa, satu tip buat Pak Wali Kota bila gerakan Mak Enoy bisa dilaksanakan, tentunya bertahap dan perlu waktu, tolong Pak Dada agar retribusi sampah dihapuskan.Oleh MEMET H. HAMDANPenulis, warga Kota Bandung. Post Date : 21 Juni 2006 |