|
Jakarta, Kompas - Dewan Perubahan Iklim akhirnya resmi terbentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2008 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat (4/8). Presiden RI menjabat sebagai ketua dan dibantu para menteri dengan dua menteri koordinasi sebagai wakil ketua. Ketua Harian Dewan Perubahan Iklim tertulis Ir Rachmat Witoelar, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dua wakil ketua, yaitu Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinasi Perekonomian. Anggota dewan terdiri dari 17 menteri ditambah Ketua Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Demikian diungkapkan staf khusus Menteri Lingkungan Hidup, Agus Purnomo, saat dihubungi, Selasa (8/7) di Jakarta. Pembentukan dewan ini mendapat tanggapan dari mantan Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Chalid Muhammad yang menilai dewan hanya akan memperpanjang birokrasi untuk urusan kebijakan terkait perubahan iklim. ”Jika seperti itu komposisinya, tidak perlu membuat dewan. Itu artinya pindah rapat kabinet ditambah BMG. Ini juga bisa dibaca bahwa selama ini koordinasi di kabinet itu lemah,” ujar Chalid. Dia mengingatkan, sebenarnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diharapkan memberikan dasar-dasar kebijakan untuk menghadapi persoalan perubahan iklim. ”Miris jika dalam satu tahun terakhir masa pemerintahan ini pemerintah baru akan melakukan identifikasi masalah,” katanya. ”Ini berarti tidak ada kebijakan dasar yang ditinggalkan,” ujarnya menambahkan. Beberapa waktu lalu, sejumlah pekerja lingkungan mengemukakan pentingnya dewan ini dapat diterima para pemangku kepentingan, antara lain masyarakat umum, birokrat, politisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan akademisi. Tanpa dipenuhinya kondisi- kondisi tersebut, dikhawatirkan dewan tidak bekerja efektif. Hal itu diungkapkan pengamat hukum lingkungan dan peneliti senior Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan (ICEL), Mas Achmad Santosa. Koordinator Perubahan Iklim WWF Indonesia, Ari Muhammad, beberapa waktu lalu, menilai, penerimaan pemangku kepentingan terhadap dewan dipengaruhi oleh siapa yang duduk di dalamnya. Duduk di pokja Mengenai beberapa kekhawatiran tersebut, Agus menegaskan, para pemangku kepentingan, di antaranya LSM dan akademisi, akan diminta duduk di dalam kelompok kerja (pokja). Terdapat enam pokja dalam dewan ini, yaitu mitigasi, adaptasi, pendanaan, transfer teknologi, hutan dan alih tata guna lahan, serta rezim pasca-Kyoto. ”Ini memang dewan pemerintah karena harus mengambil keputusan terkait pemanasan global. Kalau lembaga swadaya masyarakat dan akademisi mau memberikan masukan, ya melalui pokja ini,” ujar Agus. ”Pokja ini yang menyiapkan semua materi dan mengolah, mengusulkan mana kebijakan yang diubah mana yang ditambah. Dewan tinggal mengambil keputusan kebijakannya,” ujarnya. ”Kebijakannya adalah kebijakan menteri, jadi tidak mungkin yang duduk di dalamnya dari lembaga swadaya masyarakat. Ini bukan sharing power seperti komisi-komisi lain. Dewan ini dibentuk untuk menangani masalah perubahan iklim,” katanya. (ISW) Post Date : 09 Juli 2008 |