Desa Adat tanpa Sampah Plastik

Sumber:Majalah Tempo - 24 November 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta

WARUNG kecil milik Ni Luh Renci tampak resik. Tak ada sampah berserakan. Di depan warung ada dua karung berukuran sedang yang digantung di bale bengong atau tempat bersantai. Karung pertama untuk menampung sampah organik, karung lainnya khusus sampah plastik. Karung semacam itu jamak ditemukan di setiap rumah di Desa Adat Purwayu, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali. 

Ni Luh, 60 tahun, dan juga 127 keluarga lainnya paham betul akan aturan main perarem atau kesepakatan adat. Dalam salah satu aturannya disebutkan bahwa mereka dilarang membuang sampah sembarangan dan harus memilah sampah organik dan anorganik, termasuk plastik. Aturan main tersebut terbukti ampuh.

Dengan perarem itu, Desa Purwayu bersih dari sampah plastik. Inilah desa yang kemudian memberikan inspirasi pada Kabupaten Karangasem untuk menggencarkan program bebas sampah plastik. Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup, pun menggelar kampanye pembatasan penggunaan plastik untuk kebutuhan sehari-hari mulai awal bulan ini.

Di Desa Adat Purwayu itu warga kini sudah terbiasa memisahkan sampah yang bisa dijual ke pemulung, seperti botol plastik bekas, dengan yang tidak. Untuk mengambil sampah plastik itu, desa juga menerapkan aturan tegas: hanya satu orang pemulung yang boleh beroperasi di sana.

Sampah plastik yang tak dibeli disetor ke pengurus desa. ”Setiap pertemuan warga harus membawanya. Kalau lalai, wajib membayar denda Rp 2.500,” ujar Nyoman Jati, pengurus Desa Adat Purwayu, pekan lalu. Warga yang ketahuan membuang sampah plastik sembarangan juga akan dikenai denda.

Pararem Desa Adat Purwayu sudah berlaku sejak 1999. Idenya berawal ketika terjadi tanah longsor di sekitar Pura Lempuyang Luhur di Gunung Lempuyang, yang pemeliharaannya menjadi tanggung jawab desa itu. Pura tersebut merupakan salah satu pura besar di Bali, yang setiap bulan purnama dan bulan mati (Tilem) dikunjungi ribuan orang. Selidik punya selidik ternyata salah satu penyebab tanah longsor adalah sebagian tanah di sekitar pura telah menjadi lahan penumpukan plastik.

Bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dan kelompok pencinta lingkungan, pengurus Desa Adat Purwayu lantas menyediakan tempat sampah yang sudah dipilah. Dipasang pula berbagai imbauan untuk menyadarkan warga akan bahaya sampah plastik. ”Membuang plastik itu dosa”, begitu salah satu bunyi imbauan. Dua petugas disiapkan untuk menyisir area pura setiap hari, khususnya pada jalan mendaki menuju pura yang terdiri atas anak tangga sepanjang empat kilometer.

Partisipasi warga desa sebagai pemelihara utama pura itu pun dipacu. Selain dibebani kewajiban untuk ikut bergotong-royong membersihkan pura, mereka diharuskan menangani sampah plastik di rumah masing-masing. Awalnya banyak warga yang menentang. Apalagi sempat terjadi kebingungan akan dibuang ke mana sampah plastik yang terkumpul itu. ”Pernah saya bawa ke tempat pembuangan akhir di Karangasem tapi ditolak,” ujar Nyoman. Alasannya, tempat pembuangan akhir tak menerima sampah dari desa. Ia pun terpaksa menyewa truk dengan uang sendiri untuk menjualnya ke pengumpul sampah.

Masa sulit itu telah berlalu. Warga kini sadar bahwa selain dibutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai secara sempurna, plastik dapat merusak kualitas tanah. Adapun jika dibakar, sangat berbahaya bagi kesehatan karena mengeluarkan racun.

Pemerintah Karangasem di ujung timur Pulau Bali itu rupanya melihat gerakan antisampah plastik di desa ini. Mereka bersedia membeli sampah yang tak bisa dijual ke pemulung dengan menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sampah plastik tersebut dijemput sebulan sekali oleh truk dinas kebersihan dan pertamanan. Setiap bulan Desa Adat Purwayu bisa menjual rata-rata 500 kilogram sampah plastik.

”Kami membeli lebih mahal daripada harga jual ke pengumpul,” kata Bupati Karangasem Wayan Geredeg. Untuk 1 kilogram, pemerintah berani membayar Rp 1.000. Adapun pengumpul hanya mau membeli seharga Rp 500. Dana yang terkucur untuk program ini terus meningkat, yakni Rp 30 juta pada 2006, Rp 37 juta tahun lalu, dan Rp 56 juta pada tahun ini. Sampah plastik tersebut selanjutnya dijual ke pabrik pengolahan sampah plastik di Surabaya.

Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Karangasem I Made Arianta mengatakan bahwa produksi sampah di wilayahnya mencapai sekitar 1.236 meter kubik per hari atau sama dengan 37.087 meter kubik per bulan. Dari jumlah tersebut, 70 persen adalah sampah organik dan 30 persen anorganik, termasuk plastik. ”Kelihatannya lebih sedikit, tapi jauh lebih berbahaya,” ujarnya.

Gerakan di Desa Purwayu kemudian dijadikan model untuk pengembangan Desa Sadar Lingkungan di Karangasem. Keterlibatan desa adat, menurut Wayan Geredeg, sangat efektif. Sebab, warga di Bali masih memiliki keterikatan yang tinggi pada lembaga ini. Ia sendiri, dalam posisi sebagai penasihat Desa Adat Sibetan, Karangasem, pernah membuat perarem untuk melarang penembakan burung dan mencari ikan dengan meracuni sungai. Jika melanggar, warga didenda satu karung beras. Ternyata, setelah 10 tahun, aturan tersebut tak pernah dilanggar.

Untuk mengefektifkan penanganan sampah plastik, pemerintah daerah Karangasem berencana membeli mesin pengolah plastik menjadi bijih plastik. Tiga bulan lalu, Wayan Geredeg diundang ke Korea Selatan untuk melihat pusat pengolahan sampah ramah lingkungan. Di sana, sampah yang sudah terpilah menjadi organik, plastik, dan aluminium diolah untuk dijadikan pupuk, bijih plastik, dan lempengan aluminium sehingga bisa langsung dijual. ”Mimpi kami, ya seperti itu,” ujarnya, sembari berharap suatu saat pemerintah Korea Selatan mau membantu Karangasem. Firman Atmakusuma, Rofiqi Hasan (Bali)



Post Date : 24 November 2008