|
Kami anak Bantar Gebang Kami punya cita-cita Punya sawah, punya ladang Jadi menteri atau bupati Kami hidup di tengah sampah Kami makan dari sampah Coba tebak siapa kami Kami anak Bantar Gebang Indonesia kaya raya Mengapa kami menderita PENGGALAN puisi berjudul Anak Bantar Gebang itu berkali-kali dikumandangkan kru Radio Anak Kampung (RAK) pada perayaan satu tahun kehadiran radio yang berkantor di tengah-tengah perkampungan pemulung yang kumuh di Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) sampah Bantar Gebang, Bekasi, Rabu (14/1) siang. Tak peduli lalat-lalat beterbangan dan bau tak sedap menyeruak dari timbunan sampah warga ibu kota, kru radio yang kebanyakan juga terpaksa membantu orang tua mereka memulung, tampak bersemangat menyuarakan hati nurani anak-anak pemulung. Akan tetapi, di tengah keriangan kru RAK merayakan kiprah mereka setahun belakangan ini dalam menyuarakan celoteh anak-anak pemulung soal tempat gantungan hidup orang tua dan harapan masa depan mereka sendiri, terbersit kekhawatiran tentang masa depan itu sendiri. Tak ada sampah, berarti hilangnya mata pencaharian keluarga. Kelanjutan bersekolah masing-masing anak mulai jadi tanda tanya besar bagi diri mereka sendiri. "Susah kalau tidak ada sampah. Orangtua saya cari duit dari sampah. Kalau TPA Bantar Gebang ditutup selamanya, anak-anak sekolah yang orangtuanya pemulung bisa berhenti. Duit dari mana untuk bisa membiayai hidup dan sekolah," kata Ambar (14), salah satu penyiar RAK yang juga menjabat sebagai koordinator umum. Ambar menuturkan, orangtuanya mulai mengeluhkan susahnya mendapat uang karena hampir dua pekan ini sampah DKI tak lagi ditumpahkan ke TPA Bantar Gebang. Pemasukan hampir tak ada, sementara kebutuhan hidup tak bisa kompromi. Padahal, tahun ini adik perempuannya akan lulus dari SD dan adik laki-lakinya akan masuk SD. "Rasanya saya mau bilang ke Gubernur Sutiyoso dan Wali Kota Bekasi supaya TPA Bantar Gebang cepat dibuka. Tapi mereka dengar enggak ya kalau saya bilangnya di radio," kata Ambar. Selain mengkhawatirkan nasib dirinya dan dua adiknya jika tidak bisa lagi mengenyam bangku sekolah, kata pelajar kelas dua SMP ini, ia juga memprihatinkan akan semakin banyak anak yang terpaksa kembali menjadi pekerja anak sebagai pemulung. "DI TPA Bantar Gebang saja banyak anak yang terpaksa jadi tulang punggung keluarga, bisa bekerja 24 jam setiap harinya. Padahal, anak-anak itu kan berhak menikmati hidup seperti anak-anak sebaya yang lainnya. Lewat radio kami berusaha menyadarkan kawan- kawan sebaya bahwa mereka punya banyak hak yang bisa dituntut untuk dipenuhi. Kalau mereka pindah, kami tidak bisa lagi berkomunikasi dengan kawan-kawan sebaya," ujar Ambar sedih. Menurut Ambar, sejak TPA Bantar Gebang ditutup tanggal 1 Januari lalu dan hingga kini belum jelas bagaimana nasibnya, banyak temannya yang tidak bersekolah lagi. "Ada yang pulang kampung untuk bantu-bantu di sawah. Ada juga yang ikut orang tua ke TPA di Jakarta. Kasihan kan, mereka jadi tidak bisa sekolah," kata Ambar yang sepulang sekolah harus merobek plastik di bekas gelas air minum mineral yang dipulung orangtuanya. Penyiar lainnya, Muhamad Sunarto (13), mengatakan, sudah seminggu ini orangtuanya berpindah ke Cilincing, Jakarta Utara. Sunarto yang masih kelas satu SMP itu akhirnya tinggal di studio RAK di Pangkalan Lima, Ciketing Udik, Bantar Gebang. "Orangtua bilang mau tetap kirim uang biar saya bisa sekolah. Tapi tidak tahu apakah mereka bisa dapat uang banyak seperti di TPA Bantar Gebang," kata Sunarto. Perasaan senasib atas hilangnya sumber kehidupan mereka juga tercermin dari siaran yang dipancarkan dengan radius hingga 20 kilometer ini. "Dalam menghadapi peristiwa penutupan TPA Bantar Gebang, anak-anak menyiarkan informasi yang menggugah kebersamaan dan juga ajakan untuk menjaga keamanan. Di radio ini, siapa saja bisa mencurahkan isi hatinya. Pokoknya tentang apa saja," ujar Muhammad Dony Prestanto, pimpinan Radio Anak Kampung. Untuk anak-anak yang terpaksa pindah dari TPA Bantar Gebang, kata Dony, kru RAK dalam siarannya mengingatkan supaya mereka tetap bisa sekolah. "Radio ini milik anak-anak. Apa pendapat dan pikiran mereka tentang persoalan TPA Bantar Gebang, ya dicerna dengan perspektif dan gaya mereka. Merekalah yang memilih sendiri program acaranya dan mereka jugalah yang siaran. Seperti berita, pantun, puisi, curhat, musik, kuis, pengalaman jadi anak pemulung, kirim-kirim salam, dan bagi pengalaman sekolah," ujar Dony yang menyebutkan RAK ini sebagai wahana penyadaran bagi sesama kawan untuk belajar dan bersekolah. PENDIRIAN radio untuk anak-anak pemulung awalnya diprakarsai Geert van Asbeck yang kini sudah kembali ke negeri Belanda. Asbeck dengan organisasinya, Homeless World Foundation, pernah meneliti kehidupan pemulung Bantar Gebang yang kemudian dibuat buku. Ternyata, buku tersebut menghasilkan keuntungan besar. Lalu, keuntungan itu digunakan untuk membuat studio sederhana di perkampungan pemulung. "Harapan kami, TPA Bantar Gebang jangan ditutup. Tetapi tidak boleh juga merusak lingkungan. Terus, teman-teman sebaya jangan lagi bekerja, harus sekolah. Kami akan sampaikan di RAK. Di radio, kami bisa bicara apa saja. Kami bisa mengeluh, menyampaikan harapan, bercerita," kata Ambar. (Ester Lince Napitupulu) Post Date : 24 Januari 2004 |