|
"Tanah kita makin lama makin kritis dan tidak subur karena sudah berpuluh-puluh tahun petani selalu menggunakan pupuk anorganik. Sudah saatnya pemerintah dan petani membuka diri dengan mulai menggunakan pupuk organik," kata T Hermanto. Lihat saja negara seperti Jepang, Thailand, dan Taiwan sudah aktif menggunakan pupuk organik untuk berbagai komoditas pertanian mereka. Hasilnya buah-buahan, padi, dan komoditas pertanian lain yang mereka hasilkan jauh lebih baik. Itulah ungkapan keprihatinan yang dilontarkan Hermato, pendiri sekaligus Direktur Utama PT Berselingk Cipta Persada, produsen pupuk organik yang berkantor pusat di Semarang, Jawa Tengah. Hermanto tak habis pikir mengapa di negara yang memiliki sumber bahan baku pupuk organik melimpah seperti Indonesia, sebagian besar petaninya tak melirik sebelah mata pun pada pupuk organik. Petani umumnya hanya mau menggunakan pupuk anorganik. Padahal, dalam jangka panjang, penggunaan pupuk anorganik secara terus-menerus berdampak negatif terhadap kesuburan tanah. "Pupuk organik memang bereaksi lebih lama ketimbang pupuk anorganik. Akan tetapi, dalam jangka menengah-panjang, produk yang dihasilkan akan lebih bagus, baik dari segi volume maupun kualitas. Yang lebih penting, kesinambungan produksi akan bertahan dalam jangka panjang dan kelestarian alam tetap terjaga," papar lelaki berputra satu ini. Menurut dia, jika pupuk organik tak dianaktirikan, sekurang-kurangnya digunakan secara kombinasi dengan pupuk anorganik, maka Indonesia bisa berpeluang menjadi negara pertanian terkemuka. Segala prasyarat menjadi nomor satu di sektor pertanian dimiliki Indonesia, mulai dari lahan pertanian yang luas, plasma nutfah komoditas pertanian beraneka ragam, hingga jumlah petani yang melimpah. "Kalau mau diurut ke belakang, semua bukanlah salah petani. Tak berkembangnya penggunaan pupuk organik di kalangan petani lebih disebabkan kesalahan kebijakan pemerintah selama ini," ucap lelaki kelahiran Lampung 51 tahun silam ini. Petani hanya dicekoki informasi mengenai pupuk anorganik. Mulai dari kebijakan pemerintah hingga pembinaan oleh tenaga penyuluh pertanian di lapangan, semuanya hanya mendorong penggunaan pupuk anorganik. Petani tak diberi kesempatan untuk mengetahui alternatif lain. Ingin jadi eksportir Hermanto telah bergelut dengan bisnis pupuk organik selama hampir 20 tahun, tepatnya sejak tahun 1988. Perkenalannya dengan bisnis pupuk organik sebenarnya tanpa sengaja. Ketika memutuskan berwiraswasta, dia bingung memilih usaha yang prospektif untuk dikembangkan. Hanya satu keinginannya, menjadi eksportir. Namun, tidak gampang untuk memilih komoditas yang ingin dieskpor. Maklum, pada zaman Orde Baru, hampir semua komoditas pertanian penting yang laku untuk diekspor sudah dikuasai pengusaha-pengusaha kuat yang dekat dengan kekuasaan, cengkeh misalnya. Jika ada pengusaha baru yang ingin mengekspor komoditas yang sama, maka dia harus membayar kuota kepada pihak yang mempunyai monopoli tersebut. "Oleh karena harus ada biaya kuota, bisnis jadi tidak menguntungkan," kata sarjana ekonomi ini mengenang. Akhirnya Hermanto memilih komoditas pupuk organik, yang saat itu belum banyak dikenal orang. Selain tidak ada yang memonopoli, Hermanto melihat bisnis ini akan berkembang pesat untuk masa mendatang. Menurut perkiraannya, suatu saat orang akan kembali kepada alam, termasuk menggunakan lagi kompos atau pupuk kandang dalam pertanian. Kemampuannya yang "nol" dalam pembuatan pupuk organik tak menyurutkan langkah untuk memulai usaha. "Kalau seseorang mau belajar dan tekun, apa pun akan berhasil," ujar Hermanto. Memasuki lorong gelap Pada periode awal sekitar tahun 1988-1990, usaha yang dijalankannya ibarat memasuki lorong gelap nan panjang, tiada kepastian. Informasi mengenai pasar ekspor untuk pupuk organik sangat minim. "Saya sampai berhari-hari nongkrong di Kedutaan Besar Jepang dan negara-negara lain untuk mencari informasi mengenai permintaan pupuk organik," ujarnya. Setelah ditunggu-tunggu, permintaan akhirnya datang. Permintaan pertama datang dari Jepang. Hermanto diminta mengirimkan sampel pupuk organik rata-rata hanya 10 kilogram dengan formulasi yang telah ditentukan oleh si pembeli. Dengan modal minim, Hermanto bersama lima anak buahnya mulai mencari dan mengumpulkan kotoran-kotoran ternak, bahkan manusia, daun-daun yang membusuk, dan sampah organik di berbagai lokasi. Dia mencari mulai dari daratan, pegunungan, sungai, hingga laut. Setelah bolak-balik mengirim contoh, pembeli akhirnya bisa menerima pupuk organik yang dibuat Hermanto. Melalui serangkaian uji coba, pupuk organik buatannya cocok untuk tanaman di Jepang. Barulah setelah itu, dia diminta untuk mengirim pupuk organik dalam partai besar. Seiring dengan permintaan yang makin banyak dan beragam, Hermanto lantas menyewa gudang di Jepara untuk dijadikan pabrik pupuk organik. "Secara tidak langsung, melalui formula-formula yang diminta pembeli, kami mengetahui banyak tentang ragam dan jenis pupuk organik, termasuk cara pembuatannya. Kami menyimpan semua catatan mengenai formulasi pupuk organik yang diminta pembeli," tuturnya. Dengan terus meningkatnya permintaan, Hermanto pun melakukan ekspansi pada tahun 1998 dengan membuat pabrik pupuk seluas 2 hektar di kawasan Bawen, Jawa Tengah. Dalam mengembangkan usahanya, Hermanto mendapat dukungan kredit dari PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Manajemen perusahaannya pun semakin baik karena BNI juga memberi bimbingan manajemen seperti bagaimana membuat laporan keuangan yang benar. Kini, total pekerja yang dimiliki Hermanto mencapai 500 orang lebih. Sebagian besar dari pekerja tersebut merupakan penduduk di sekitar pabrik. Selain karyawan yang bekerja di pabrik, Hermanto juga memberdayakan masyarakat yang menganggur sebagai pengumpul bahan baku. "Kami memiliki sekitar 20 kelompok anak angkat yang bertugas sebagai pencari bahan baku. Setiap kelompok terdiri dari 10-30 orang. Kami memberi modal awal sekitar Rp 10 juta per kelompok," katanya. Perusahaan Hermanto kini mampu memproduksi sekitar 2.000 ton pupuk per tahun. Pupuk organik produknya diekspor ke beberapa negara, antara lain ke Jepang, Taiwan, Amerika Serikat, dan Italia. Bentuk pupuknya pun semakin beragam, mulai dari yang berbentuk butiran, pil, bubuk, jelly hingga cair. Untuk pupuk organik yang dieskpor, nama merek diserahkannya kepada pembeli. Namun, dalam kemasan produk itu selalu tertulis made in Indonesia. M Fajar Marta Post Date : 28 Mei 2007 |