|
Kegembiraan murid dan guru SD Negeri 20 Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur, itu hanya berumur dua pekan. Kelas, ruang perpustakaan, dan kantor sekolah itu memang baru, tetapi setelah itu banjir menyerbu tiada ampun. Bangku dan kursi sekolah itu baru saja dipelitur. Walau tak ada anggaran dari pemerintah, pemimpin sekolah nekat mencari biaya sendiri untuk memperindah tempat duduk siswanya. Tetapi, pekerjaan itu pun sia-sia. November 2005, sekolah itu roboh plafonnya. Pembangunan kembali sempat terbengkalai 10 bulan walau plafon lama dihancurkan agar bisa segera dibangun. Murid terpaksa menumpang belajar di SDN Cipinang 19. Saat yang ditunggu, yakni selesainya pembangunan gedung SD itu, akhirnya tiba. Sayangnya, umurnya hanya dua pekan. Banjir langsung memorakporandakan seisi kelas dan ruang lain yang baru selesai diperbaiki. Kepala SDN 20 Cipinang Muara Purnomo Hadi, Senin (5/2), terlihat lesu menyaksikan semua aset sekolah itu lambat tapi pasti "dimakan" banjir. "Buku di perpustakaan sempat kami selamatkan dengan menaruh di atas meja. Tetapi, tak lama kemudian air sampai di atas meja, dan buku-buku itu pun terapung," katanya. Rumah dinas Purnomo juga tinggal terlihat atapnya, tertelan banjir. Dia harus mengungsi di dalam kelas, tidur di dalam kelas dengan menyusun meja sampai dua tingkat. Di atas meja susun itu diletakkan kasur untuk tidur. "Saya keluar dari ruangan kalau ada keperluan. Pagi saya sarapan dan mandi di tempat keponakan saya di Halim," kata Purnomo. Ia melanjutkan, "Sebenarnya saya bisa tidur di tempat keponakan, tetapi dalam kondisi ini saya tidak bisa meninggalkan sekolah ini." Bisa saja hal yang tak diinginkan terjadi, seperti pencurian. Selain itu, Purnomo juga ingin memastikan saat air mulai surut, kelas bisa segera dibersihkan dari lumpur. "Katanya kalau tak segera dibersihkan lumpurnya lengket," katanya lagi. Purnomo memang belum berpengalaman menghadapi banjir sehingga banyak hal yang harus dipelajarinya kali ini. "Banjir besar kan tahun 2002. Saya baru di sini tahun 2003," ungkapnya. Selain kepala sekolah, penjaga sekolah pun menunjukkan kesetiaan dengan siang malam tetap menempati gedung itu apa pun kondisinya. "Kalau tak dijaga, saya takut nanti ada yang bawa barang-barang," kata Didik, penjaga SDN 20 Cipinang Muara. Bersama istri dan anaknya, setiap malam Didik tidur di atas kursi yang disusun di atas genangan air. Ia hanya ditemani satu buah lampu minyak karena aliran listrik mati. Lebih menderita Pengorbanan menjaga rumah juga dilakukan Samuel Sapan, warga Cipinang Melayu, Makasar, Jaktim. Sejak banjir menggenangi rumahnya, Rabu pekan lalu, Samuel bersama istrinya bertekad menjaga rumah itu, karena saat banjir ada saja yang mungkin terjadi. Namun, Minggu (4/2) sore, air bah terus naik dan arus yang kuat membuat Samuel memutuskan turun dari lantai dua. "Makanan yang kami siapkan ternyata semuanya terendam bersama kompornya. Jadi, kami kelaparan," katanya. Pasangan yang tak muda lagi itu terpaksa melompat dari satu atap ke atap rumah lain untuk menghindari genangan. Mereka juga melompati pagar tinggi Akademi Pariwisata Indonesia, setelah itu memaksakan diri berenang ke tepi. "Kami sebenarnya harus menjaga rumah dan kampung karena semua orang sudah pergi," paparnya. Kedengarannya memang bodoh, orang tidak mau mengungsi dan mendiami rumah atau bangunan yang direndam air. Namun, jika logikanya dibalik, apa ada yang bisa didapat dari tempat pengungsian di Jakarta? Adakah pengungsian yang manusiawi dan nyaman? "Lebih baik di loteng daripada mengungsi," kata Handoyo, warga Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jaktim. Sudah bertahun-tahun banjir terjadi di lokasi itu, dan tinggal di loteng menjadi pilihan pahit, daripada mengungsi di tempat yang tak ada fasilitasnya. Emma, penduduk Jalan Bangka, Jaktim, menambahkan, "Saya memutuskan untuk meninggalkan rumah. Tetapi, setelah di luar, saya tak bisa ke mana-mana dan tak ada tempat pengungsian yang layak. Teman saya yang tetap bertahan di loteng justru terjamin." Amir Sodikin Post Date : 06 Februari 2007 |