|
KUDUS - Pada sepuluh tahun terakhir, debit air di sumur srumbung milik warga Desa Mijen, Kecamatan Kaliwungu, Kudus, cenderung berkurang. Selain itu, meski masih layak dikonsumsi, kualitas air yang dihasilkan cenderung menurun. ''Sekarang, air di sumur srumbung saya agak berbau,'' kata pemilik sumur srumbung di RT 2 RW 6, Dukuh Demangan, Desa Mijen, Subroto, kemarin. Dia menduga hal itu terjadi sejak munculnya beberapa kawasan industri yang mengonsumsi air dalam jumlah banyak. Pada waktu itu, pada musim kemarau, ketinggian air di sumur miliknya mencapai empat meter dari dasar sumur. Namun pada kemarau saat ini, ketinggian air hanya dua meter dari dasar sumur. Berkurangnya debit air sumur srumbung itu menurutnya juga merupakan dampak dari munculnya sumur pantek (pompa) yang saat ini jumlahnya cukup banyak. Sumur jenis itu, kata dia, dapat menyerap air lebih banyak. Rp 650 Ribu ''Memang secara ekonomis, biaya pembuatan sumur srumbung lebih murah dibanding dengan sumur pantek,'' jelasnya. Untuk membuat sumur srumbung berkedalaman delapan meter diperlukan dana Rp 650.000, sedangkan untuk membuat sumur pantek, dana yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 850.000. Kades Mijen Sukri membenarkan kabar tentang berkurangnya pasokan air di sumur srumbung milik warga. Meski penyebabnya tidak diketahui secara pasti, kondisi tersebut dinilai menyulitkan warga, terutama pada musim kemarau. ''Saat ini memang belum ada yang mengeluh air sumurnya habis,'' ungkapnya. Disinggung soal jumlah sumur, dia mengatakan, di Mijen saat ini tercatat ada 1.378 sumur srumbung dan 1.099 sumur pantek. Dari jumlah sumur srumbung tersebut, rata-rata debit airnya memang mengalami penurunan pada musim kemarau ini. (H8-17n) Post Date : 12 Juli 2006 |