Daur Ulang Air Buangan

Sumber:Kompas - 01 Maret 2007
Kategori:Drainase
Banjir besar yang melanda Jakarta dan sekitarnya mengingatkan kita betapa parahnya kerusakan lingkungan di Ibu Kota dan daerah sekelilingnya. Kawasan yang seharusnya menjadi tempat resapan air hujan di selatan Jakarta telah berubah fungsi.

Akibatnya, hanya sedikit air hujan yang meresap ke dalam tanah. Sebagian besar air hujan mengalir di permukaan dan membuat sungai-sungai yang melintasi Jakarta "kelebihan muatan". Air sungai pun meluap dan membanjiri daerah yang dilewatinya.

Setelah Jakarta dan sekitarnya dihajar banjir yang memalukan itu, barulah banyak pihakterutama pemerintahbicara soal penyelamatan lingkungan. Mulai dari rencana menertibkan vila di kawasan Puncak, hingga rencana memperbaiki situ atau bahkan membuat situ baru. Belum lagi rencana menggalakkan pembuatan sumur resapan.

Jika upaya paling sederhana saja lalai diwujudkan, lalu apa lagi yang bisa diharapkan? Padahal, masih ada banyak upaya perbaikan lingkungan yang lebih kompleks sifatnya, antara lain pengurangan emisi karbon dan pengurangan pemakaian plastik yang tak bisa didaur ulang, menanti di depan mata untuk segera dijalankan.

Keengganan memerhatikan aspek konservasi lingkungan biasanya berpangkal pada anggapan bahwa biaya untuk menjaga lingkungan tidak memberi keuntungan balik secara ekonomis. Intinya, mengurusi lingkungan dipandang hanya buang-buang uang dan bagi para pengusaha yang berpikiran cupet, mengurusi lingkungan berarti cuma menambah beban biaya perusahaan.

Pengalaman di Jepang

Perusahaan elektronik Jepang Sharp, misalnya, telah sejak lama menjadikan upaya konservasi lingkungan sebagai bagian integral dari pengembangan perusahaan. Untuk itu, pada tahun 1999 mereka menerapkan akuntansi lingkungan (environmental accounting).

Ada banyak pos dalam akuntansi lingkungan. Pos-pos ini, antara lain, pengurangan emisi gas rumah kaca (seperti dengan pemasangan sel tenaga surya) dan usaha mengurangi sekaligus mendaur ulang sampah (seperti dengan mendaur ulang air buangan).

Setiap pos dihitung jumlah investasi dan biaya yang dibutuhkannya. Keduanyainvestasi dan biayatermasuk dalam environmental conservation cost atau pengeluaran konservasi lingkungan. Sementara itu, dari setiap pos yang sama dihitung pula keuntungan nyata (actual benefit) dan keuntungan perkiraan (estimated benefit) yang disumbangkannya.

Keuntungan nyata merupakan keuntungan yang langsung dapat dinilai dalam satuan moneter. Keuntungan jenis ini antara lain dipengaruhi oleh penghematan bahan baku sebagai buah dari keberhasilan mendaur ulang sampah.

Adapun keuntungan perkiraan adalah keuntungan yang tidak bisa langsung dinilai dalam satuan moneter karena bersifat global dan jangka panjang. Keuntungan jenis ini perlu dikonversi terlebih dahulu menggunakan satuan moneter ekuivalen. Contoh, penghematan listrik memberi keuntungan perkiraan yang dihitung menggunakan angka konversi 23 yen per kWh, sedangkan pengurangan gas emisi rumah kaca memberi keuntungan perkiraan yang diperoleh dengan menggunakan angka konversi 3.630 yen per ton CO2(25,46 euro per ton CO2).

Pada periode April 2005-Maret 2006, Sharp melaporkan, pengurangan emisi gas rumah kaca (antara lain dengan pemakaian sel surya) memberi keuntungan nyata 1,340 miliar yen serta memberi keuntungan perkiraan 2,852 miliar yen. Adapun usaha pengurangan emisi gas rumah kaca ini memerlukan dana investasi 391 juta yen dan menelan biaya 1,61 miliar yen.

Penerapan akuntansi lingkungan baru meliputi kantor dan pabrik Sharp yang berada di Jepang dengan jumlah total 14 lokasi. Meski begitu, hal tersebut tidak berarti upaya konservasi lingkungan dilakukan hanya terbatas di Jepang. Di Eropa, kawasan dengan regulasi lingkungan yang ketat, Sharp juga menjalankan upaya konservasi lingkungan secara serius.

Hasilnya, pada 1996, pabrik mereka di Alsace, Perancis, menjadi perusahaan ke-11 di negara tersebut yang mendapat sertifikat ISO 14001, sebuah standar yang diterima secara internasional bagi sistem manajemen lingkungan. Pabrik ini dari tahun ke tahun juga berhasil terus menekan emisi karbon dioksida dan memangkas konsumsi air bersih.

Perusahaan Jepang yang serius menjadi perusahaan yang ramah lingkungan tak hanya Sharp. Ada Honda, Konica Minolta, dan perusahaan baja Kobe Steel, yang juga melakukan hal serupa.

Tahun 2000, Honda mengklaim seluruh pabrik mereka di Jepang telah berhasil menekan sampah buangan hingga menjadi nol persen. Adapun Kobe Steel berhasil menekan sampah buangan akhir Pabrik Chofu dari 3.300 metrik ton pada 2000 menjadi tinggal 64 metrik ton pada periode Oktober 2004- September 2005.

Kesimpulannya, upaya konservasi lingkungan bukan hal yang mengawang-awang atau sesuatu yang mustahil. Pabrik atau kantor di negara maju, seperti Jepang, membuktikan upaya konservasi lingkungan dapat dilakukan dan tidak bertentangan dengan usaha memburu profit. Bahkan, di tengah konsumen dunia yang kian kritis, perusahaan dan produk yang ramah lingkungan justru akan lebih diminati.

Bangsa Indonesia pun tentu juga bisa menjadi bangsa yang sangat serius dalam urusan konservasi lingkungan. Namun, tujuan besar itu tentu harus diawali dengan keseriusan menjalankan upaya konservasi lingkungan yang paling sederhana terlebih dahulu. A Tomy Trinugroho



Post Date : 01 Maret 2007