DAS di Jawa Memprihatinkan

Sumber:Kompas - 29 Maret 2010
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Jakarta, Kompas - Lebih dari 80 persen atau 116 dari 141 daerah aliran sungai di Pulau Jawa kondisinya memprihatinkan. Akibatnya, daya serap tanah terhadap air hujan di Pulau Jawa kini hanya sekitar 46 persen.

Degradasi daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa itu akibat ekspansi permukiman, pertanian, dan industri yang mengabaikan asas konservasi.

Dengan kondisi itu, banjir bakal semakin sering melanda Jawa. Tanpa upaya perbaikan serius, kerusakan DAS akan menempatkan Pulau Jawa dalam bahaya besar.

Data Kementerian Kehutanan tahun 2008 menyebutkan, dari 116 DAS yang kondisinya memprihatinkan, 16 di antaranya masuk kategori I, atau membutuhkan penanganan serius, karena kondisinya sudah sangat kritis.

DAS yang masuk kategori I antara lain Citarum yang kini hanya punya kawasan 13 persen dan Bengawan Solo yang kawasannya tinggal 19 persen. Padahal, dibutuhkan 30 persen.

Menanggapi kondisi itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan meminta semua pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan di daerah lebih serius memerhatikan kelestarian hutan.

Kelestarian hutan DAS, kata Menhut, bukan hanya tanggung jawab Kementerian Kehutanan karena sebagian besar kepemilikan lahan di hulu DAS di tangan pengusaha dan masyarakat. ”Investasi boleh, tetapi jangan mengabaikan kelestarian hutan. Kalau DAS rusak seperti Citarum, semua investasi masyarakat yang ada di hilir pun akan rusak saat bencana datang,” ujar Zulkifli, pekan lalu di Jatiluhur, Jabar.

Kerusakan hutan membuat DAS Citarum dan 12 sub-DAS Citarum tak mampu menampung curah hujan yang tinggi.

Mengutip informasi dari koordinasi tim manajemen air tiga waduk di Jawa Barat, Direktur Utama Perum Jasa Tirta II Djedam Gurusinga mengungkapkan, debit air yang rendah saat Januari mendadak naik tajam pada awal Februari. Ini membuat debit air di Waduk Saguling melampaui titik maksimum.

Waduk Cirata dapat mempertahankan ketinggian air karena memiliki turbin pembangkit listrik berdaya 1.000 megawatt sehingga dapat mengeluarkan air dalam jumlah banyak. Adapun Jatiluhur didesain untuk pengairan sehingga pembangkitnya hanya berdaya 187 MW. Jatiluhur juga tidak punya pintu air seperti waduk lain sehingga kalau sudah melebihi batas maksimum, air otomatis keluar.

Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan Indriastuti memaparkan, ekspansi lahan pertanian tanpa tanaman keras membuat lapisan tanah paling atas tergerus saat hujan, memicu sedimentasi hingga 25,52 ton per hektar per tahun.

”Ini yang membuat sungai tak mampu lagi menampung air dan cenderung hanya menjadi saluran air saat hujan dan nyaris kering dalam musim kemarau,” ujar Indriastuti. (HAM)



Post Date : 29 Maret 2010