Sedikit demi sedikit, air dalam jeriken-jeriken itu berpindah ke gentong besar di warteg milik Semi. Air itu digunakan khusus untuk minum dan memasak. Untuk kebutuhan air bersih di RT 12 RW 3, Kelurahan Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, itu, warga memang masih mengandalkan air eceran karena tidak ada jaringan PDAM di sejumlah wilayah itu.
Air dalam satu jeriken kapasitas 18 liter dibeli seharga Rp 2.500. Gentong besar itu penuh setelah terisi setidaknya 10 jeriken. Sekali memenuhi gentong itu, dia membayar Rp 25.000. ”Paling-paling bisa buat 2-3 hari,” kata Semi.
Kalau dihitung, dalam sebulan, Semi mengeluarkan uang setidaknya Rp 250.000 untuk kebutuhan air bersih.
Bergeser sedikit ke utara, tepatnya di sekitar Pelabuhan Kamal, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Rohayah (50) tengah mengisi bak tampungan di warungnya untuk kebutuhan memasak dan minum. Setiap hari dia harus membeli satu jeriken air seharga Rp 2.000 untuk memasak dan minum. Artinya, dalam sebulan dia membayar Rp 60.000 untuk konsumsi air.
Bagi warga di sekitar Kamal Muara di Penjaringan serta Kamal dan Tegal Alur di Kalideres, air bersih mirip barang mewah. Jaringan PDAM belum mencapai mereka. Mereka masih mengandalkan air pikulan untuk kebutuhan sehari-hari.
Warga tidak bisa mengandalkan air tanah untuk memasak dan minum. ”Airnya kuning dan rasanya agak asin, cuma bisa buat mandi dan mencuci,” ujar Rohayah.
Tak jauh dari warung Rohayah, terdapat sebuah bak tampungan air besar. Beberapa gerobak berisi jeriken-jeriken milik para penjaja air keliling berderet menunggu untuk diisi.
”Tangkinya juga sering tidak ada airnya. Katanya mau dipasang (pipa) PDAM, tetapi sampai sekarang belum ada,” ujarnya.
Ujung tombak
Para penjaja air keliling itu menjadi ”ujung tombak” suplai air bersih bagi warga di wilayah-wilayah yang belum dijamah jaringan PDAM. Mereka bagaikan pipa-pipa yang mengalirkan air setiap hari kepada warga.
Di sepanjang Jalan Raya Kamal Muara yang membentang dari Penjaringan hingga Kalideres, banyak ditemui penjual air eceran. Mereka berkeliling dari kampung ke kampung untuk memenuhi kebutuhan warga atas air bersih.
Kiki (47), salah satu penjual air eceran di Tegal Alur, mengatakan, air yang dijualnya diambil dari tangki besar yang dipasok salah satu operator air bersih di DKI Jakarta.
”Dulu pernah ada pipa-pipanya dan bisa mengalirkan air, tetapi sudah lima tahun yang lalu dipotong sehingga tidak bisa mengalirkan air lagi,” ujarnya.
Tangki besar berkapasitas 12.000 liter itu dipakai oleh delapan penjual eceran. Mereka mengusung 18-20 jeriken air kapasitas 18 liter dalam satu gerobak untuk dijual keliling. Dalam sehari, para penjual itu bisa enam hingga tujuh kali mengisi jeriken-jeriken tersebut. Air satu jeriken dijual Rp 2.500.
”Enggak cuma untuk daerah sini saja. Di Rawa Melati yang jauh ke sana juga sering membeli air dari sini karena di sana air susah,” kata Kiki.
Meskipun sudah ada tangki-tangki penampung air, tidak setiap saat air itu ada. Kadang-kadang pasokan air tidak datang.
”Kalau tidak ada mobil tangki yang datang, kami mengambil air dari tangki di tempat lain. Kadang sampai jauh juga,” ujar Kiki.
Dia menambahkan, kadang-kadang, mobil tangki air didatangkan ke perkampungan warga atas inisiatif ketua RT atau ketua RW setempat. Warga kemudian berebutan mengisi ember, gentong, dan jeriken untuk memenuhi kebutuhan air selama 2-3 hari ke depan.
Dalam beberapa tahun terakhir, pasokan air untuk wilayah Tegal Alur sudah terbilang lancar meskipun tidak setiap saat tersedia.
”Dulu meskipun sudah ada jaringan PDAM, air sering kecil saja mengalirnya. Sekarang setelah tidak ada, orang beli dari pikulan seperti ini. Air di sini sudah seperti barang mewah saja,” kata Kiki, berseloroh. (fro)
Post Date : 15 Juni 2011
|