Dari Perut Kembali ke Perut

Sumber:Majalah Gatra - 14 Februari 2008
Kategori:Sanitasi

Namanya ''MCK++''. Inilah fasilitas paling mewah di seluruh Jalan Petojo Binatu I, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat. Betapa tidak, dibandingkan dengan rumah-rumah petak sempit di sekitarya, bangunan MCK itu memang tampak lebih mentereng. Seluruh lantai bangunan dilapisi keramik dengan cat biru cerah. Ada Miki Tikus dan Donal Sebek segala mejeng di dinding.

Di sanalah 80 kepala keluarga warga Petojo bebas dan nyaman melepaskan hajat. MCK++ memang bukan sembarang tempat mandi-cuci-kakus biasa. Ada embel-embel ''plus-plus'', karena MCK ini punya 11 kamar yang terdiri dari enam toilet, empat kamar mandi, serta satu kamar mandi ibu dan anak. Kamar mandi yang terakhir itu memang khusus. ''Soalnya, itu satu-satunya yang ada shower-nya. Jadi, enak buat mandiin anak kecil,'' kata Yuyun, 43 tahun, seorang ibu rumah tangga yang rumahnya hanya berjarak lima meter dari MCK++.

MCK++ seluas 125 meter persegi itu memang ''mewah'' karena dibiayai hibah murni USAID sebesar Rp 360 juta, April 2007. Limbah MCK++ ini pun tak digelontor begitu saja, melainkan disalurkan untuk diolah menjadi biogas. Instalasi biogas itu berupa sebuah kubah berdiameter 4,5 meter dan tinggi 1,75 meter. Kubah ini tertanam di depan toilet sehingga hanya tutupnya yang terlihat. Dari kubah itu mencuat pipa paralon yang berakhir pada kompor yang terletak di ruangan posyandu.

''MCK++ itu menggunakan sistem DEWATS atau decentralized waste water treatment system,'' tutur Irwansyah, Ketua RW 08 Petojo yang menjadi penanggung jawab MCK. Ringkasnya, limbah yang dipisah menjadi limbah cair (urine, air bekas mandi dan cuci) dan padat (tinja).

Limbah cair masuk ke instalasi yang disebut baffled reactor, yang berada persis di bawah kamar mandi dan dibangun bersekat-sekat seluas seluas 9 x 4 meter. Di sanalah limbah cair diproses dan dibuang ke Sungai Krukut, yang mengalir persis di samping MCK. ''Limbah itu sudah tidak mengandung bakteri E. coli yang membahayakan kesehatan,'' kata Irwansyah.

Jika limbah cair dibuang, limbah padatnya dimasukkan ke instalasi kubah tadi. Setelah mengalami pengendapan dan pengolahan, tinja akan menghasilkan beberapa unsur biogas, terutama gas metan yang dapat dijadikan bahan bakar. Memang, sementara ini, biogas itu belum dapat disalurkan ke perumahan warga.

Soalnya, pasokan bahan bakunya belum cukup. ''Katanya sih, masih belum bisa disalurin ke rumah-rumah. Sebab pipanya harus panjang dan gasnya masih belum memenuhi kapasitas maksimal,'' kata Yuyun. Sementara ini, kompor biogas hanya bisa dipakai ramai-ramai di posyandu.

Toh, menurut Yuyun, masalah itu tak mengganggu antusias warga. Yuyun sering memasak air untuk mereka yang bekerja bakti membersihkan MCK++. ''Sudah pernah coba pisang goreng rasa 't'?'' tanya Yuyun sembari tertawa. Apa yang dimaksud dengan ''t'', tak usah dibahas. Tapi Yuyun hanya bergurau. Makanan apa pun yang dimasak dengan kompor biogas tak berbau limbah. Buktinya, kalau ada acara posyandu, para balita sering mendapat bonus pisang goreng.

Tak hanya Petojo yang memiliki fasilitas ''plus-plus''. Hampir tiap sore, para santri Yayasan Pondok Pesantren SPMAA (Sumber Pendidikan Mental Agama Allah) di Desa Turi, Kecamatan Turi, Lamongan, Jawa Timur, memanfaatkan kompor biogas mereka untuk memasak air atau menggoreng mi. Bahan bakarnya, ya, limbah WC dari 450 santri yang ada. "Idul Kurban kemarin, kami malah membakar sate dengan biogas tinja ini. Enak dan sama sekali tidak bau busuk,'' kata Gus Hafid, Direktur SPMAA.

Biogas tinja milik SPMAA itu bisa bekerja dua jam terus-menerus tanpa mati. ''Kalau masih mau dipakai, dimatikan dulu 5-10 menit supaya gas kembali terkumpul,'' ujar Gus Adhim, Kepala Data dan Infomasi SPMAA.

Gagasan membuat biogas untuk pesantren itu timbul ketika Gus Hafid dan Adhim menjadi relawan korban tsunami di Aceh, 2004. Di sana, kakak beradik itu mendirikan lembaga pendidikan bagi anak-anak korban tsunami. Ketika itulah mereka bertemu dengan Kelompok Tani Thoyyibah yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah. Nah, ''Kawan-kawan dari Salatiga inilah yang memberikan ide untuk membuat biogas dari tinja sapi di Aceh," kata Gus Hafid.

Ketika kembali ke kampung halaman pada 2006, Gus Hafid berniat menerapkan gagasan biogas tinja itu. Hanya saja, bahan bakunya tidak berasal dari sapi, melainkan dari para santri. Maklum saja, SPMAA selalu kerepotan mengurus limbah 450 santri. Soalnya, ''Tiga sampai empat bulan sekali kami harus panggil tukang sedot WC karena telah penuh tinja," katanya.

Kini Gus Hafid mengaku bisa mengirit ongkos tukang sedot tinja dari Surabaya. Selain itu, dengan menggunakan biogas, SPMAA lebih menghemat bahan bakar. Bagian dapur pesantren rata-rata menghabiskan dua truk kayu bakar yang kini makan ongkos sekitar Rp 1,5 juta per bulan. ''Setelah memakai biogas, pengeluaran itu juga bisa diirit,'' tutur Gus Hafid.

Hanya saja, Gus Hafid mengakui, seperti yang terjadi di Petojo, penggunaan biogas tinja itu belum optimal. Sebagian santri perempuan masih merasa jijik makan makanan yang dimasak dengan biogas. ''Seian itu, di kalangan para kiai masih terjadi pro-kontra tentang halal dan haramnya memasak dengan tinja ini,'' kata Gus Hafid. Namun Gus Hafid optimistis karena biogas ini lebih banyak mendatangkan keuntungan. Apalagi, materi yang digunakan sebetulnya bukan kotoran lagi karena telah diolah menjadi unsur lain, yakni gas.

Masalah lain terkait dengan kapasitas limbah. Untuk sepenuhnya mengganti bahan bakar minyak, biogas memang membutuhkan lebih banyak limbah. Menurut kalkulasi Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP), kapasitas limbah biogas yang ideal mencapai 1 meter kubik. ''Itu cukup untuk memasak satu keluarga (lima orang) selama tiga jam,'' kata Nurhakim Ahmad, Humas LPTP.

Walaupun belum sepenuhnya dapat mengganti bahan bakar minyak, toh mereka yang menggunakan biogas sudah keburu senang. Instalasi biogas telah tumbuhan di mana-mana (lihat: Siapa Mau Biogas?). ''Dulu warga di sini banyak yang kena diare. Sekarang, setelah biogas ada, jadi jarang. Bahkan banyak yang iri minta dibuatin,'' kata Irwansyah.

Siapa Mau Biogas?

Teknologi biogas sebenarnya sudah lama dikenal dan digunakan di Indonesia. Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) membangun instalasi biogas di Rumah Pemotongan Hewan Cakung sejak 2002. ''Proyek itu bekerja sama dengan Jerman karena itu rumah potong yang terbesar di Indonesia. Hewan yang dipotong mencapai 250-300 ekor setiap hari,'' kata Indriati Vijaya, 53 tahun, peneliti madya di Divisi Pengkajian Lingkungan BPPT.

Limbah berupa kotoran, darah, lemak, bahkan air bekas mencuci kandang dapat dipakai sebagai bahan bakar biogas. ''Yang penting limbah organik,'' ujar Indriati. Secara ringkas, Indriati menjelaskan cara kerja biogas. Awalnya, limbah cair itu disaring lebih dan dimasukkan ke tangki yang disebut tangki homogenasi.

''Tangki ini dilengkapi dengan pompa pengaduk cairan limbah,'' kata Indriati. Setelah melalui proses homogenasi, limbah dimasukkan ke tangki sedimentasi untuk dihilangkan endapannya. Selanjutnya, barulah limbah disalurkan ke tangki anaerobik, yang nantinya menghasilkan gas metana yang siap dibakar.

Khusus untuk instalasi biogas rumah tangga, Indriati berpesan, perlu dipasang alat pengikat gas hidrogen sulfida (H2S) yang dibuat dari besi pipih. ''Alat ini perlu dipasang untuk menghilangkan bau tinja yang tak sedap,'' Indriati menambahkan. Sebenarnya makanan yang dimasak dengan biogas tinja tak berbau. Tapi bukan tidak mungkin aroma toilet tetap nyelonong dari sumber lain.

Selain BPPT, Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) juga rajin mengurusi proyek biogas. ''Instalasi biogas yang dibangun dan dikembangkan LPTP pada saat ini mencapai lebih dari 500 unit,'' tutur Nurhakim Ahmad, Humas LPTP. Biogas limbah sapi adalah yang terbanyak. Berlokasi di Boyolali, Ungaran, Pati, dan Sleman. Ada juga kelompok usaha tahu, rumah potong hewan, hingga perorangan yang memanfaatkannya.

Walau terlihat semarak, Indriati mengakui, biogas masih belum memasyarakat. Padahal, teknologi biogas akan sangat membantu daerah-daerah yang dilanda krisis energi. Indriati mencontohkan di Sumatera Utara yang sering terjadi putus listrik tiap 12 jam. Kondisi ini sebenarnya dapat diatasi menggunakan limbah pengolahan kelapa sawit. ''Wah, kalau diterapkan, masya Allah, bisa sampai berapa ribu megawatt hasilnya,'' ujar Indriati.

Dibandingkan dengan di luar negeri, kata Indriati, pemanfaatan biogas di Indonesia juga ketinggalan jauh. ''Cina dan India sudah banyak menggunakan biogas. Bahkan negara maju seperti Singapura dan Jerman pun pakai,'' katanya. Benar saja, wartawan Gatra Miranti Sotejipto-Hirschmann melaporkan, Menteri Lingkungan Hidup Jerman, Sigmar Gabriel, telah meningkatkan dana penggunaan teknologi biogas sebesar 14%. ''Ini untuk menggalakkan penggunaan biogas dan penghematan energi di masa depan,'' kata Gabriel.

Berbagai langkah ini tentu sangat masuk akal. ''Soalnya, limbah biogas itu kan mudah didapat. Kita nggak usah beli,'' kata Indriati lagi. Nur Hidayat, Basfin Siregar, Syamsul Hidayat, dan Nur Cholish Zaein (Surabaya)

 



Post Date : 14 Februari 2008