|
Gerakan warga untuk mengelola sampah dan memperbaiki kualitas lingkungan hunian di sebuah kampung tepian sungai di banjarmasin menyebarkan ide serupa di kawasan lain kota itu. Partisipasi warga menjadi kunci perubahan. Tempat sampah yang berjajar rapi di Kampung Mahligai memberikan kesan sebagai hunian bersih. Kelebihannya, sampah di kampung yang terletak di Kelurahan Sei Jinggah, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itu tak dibuang begitu saja. Sebuah mesin senilai. Rp 15 juta yang merupakan bantuan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada 2006 mengubah sampah itu menjadi pupuk. Tiap bulan, dari sepuluh titik pengumpulan sampah, dihasilkan 60 kilogram pupuk organik. Warga menjual pupuk itu dengan harga Rp 5.000 per kilogram. Hasilnya mereka manfaatkan sebagai uang bulanan untuk kegiatan RT. "Pembeli pupuk organik datang langsung ke tempat kami," kata Ernawati, salah satu warga. Gerakan warga mengubah sampah menjadi pupuk merupakan hasil kerja keras Faturrahman, tokoh masyarakat yang menjadi arsitek pengelolaan lingkungan kampung itu. Dengan telaten, alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat ini memberikan contoh dan menggerakkan warga untuk belajar mengolah sampah. Mereka termotivasi melakukannya karena sampah bisa menjadi sumber uang. Hasilnya luar biasa. Seperti yang dilihat Tempo tiga pekan lalu, tak ada. lagi sampah bertebaran, sehingga kampung yang dipenuhi rimbun pepohonan ini menjadi sebuah kawasan yang bersih. Padahal, pada 1987, kata Faturrahman, Mahligai adalah kawasan kumuh. Rumah-rumahnya kurang layak huni. Jalan kampung terbuat dari kayu yang ditutup tanah bercampur pasir. Pada musim kemarau, debu beterbangan. Pada musim hujan, jalan-jalan sangat becek. Permukaan air Sungai Martapura naik, yang mengakibatkan terendamnya sebagian permukiman. Setelah air surut, onggokan sampah pun bertebaran. Sedikit demi sedikit, Faturrahman berhasil menggerakkan warga bergotong-royong memperbaiki lingkungan. Faturrahman sendiri mengabadikan proses perbaikan lingkungan dalam foto. "Kami menginginkan kebersihan lingkungan secara mandiri, dimulai dari lingkungan rumah warga masing-masing," katanya. Dimulai dengan membuat saluran pembuangan air dan membersihkan semak-belukar. Bibit pohon penghijauan dan buah-buahan ditanam di depan rumah warga dan di seluruh ruas jalan. Upaya keras Faturrahman membangkitkan semangat warga ini tak sia-sia. Pada 2005, wilayah ini terpilih sebagai permukiman terbersih dan terhijau di Banjarmasin. Kampung ini pun menjadi kampung percontohan di Banjarmasin, yang lagi getol membersihkan sampah. Kampung Mahligai, sebagai permukiman di tepian sungai, pun menjadi teladan bagi hunian di kota yang terkenal dengan julukan "kota seribu sungai" itu. Namun Kampung Mahligai hanyalah sebagian kecil dari Banjarmasin. Perubahannya sendiri tak berdampak besar terhadap kota yang memiliki 107 buah aliran sungai, dan hanya 70 yang bisa disebut sehat. Sisanya sungguh memprihatinkan: tersumbat, menyempit, dangkal, dengan air cokelat pekat bahkan kehitaman. Menurut kepala Dinas Tata Kota Banjarmasin, Hamdi, penyebabnya adalah perilaku warga sendiri. Mereka menganggap sungai sebagai tong sampah besar. Apalagi, kata Ketua Badan Pengendalian dampak Lingkungan Banjarmasin Rusmin Ardelewa, sungai-sungai yang bermuara ke Laut Jawa tersebut mempunyai karakter pasang-surut khas tiap hari, air sungai pasang selama 5-6 jam dengan ketinggian 0,75 hingga 1,25 meter dari dasar sungai. sebagaian sampah di pinggiran sungai pun terbawa ke sungai ketika air pasang sebaliknya, sebagian sampah yang sudah berada di sungai bias kembali tepi. Maka tak aneh, pada 2006, kota ini memperoleh julukan sebagai kota terkotor. Julukan ini didasarkan pada hasil penilaian tahap pertama periode Oktober-November 2005 oleh tim Adipura Kementerian Lingkungan Hidup. Julukan memalukan itu seperti punya daya kejut luar biasa. Pemerintah Kota Banjarmasin lantas berupaya keras menyulap sungai agar kembali bersih dan bebas pendangkalan. Siring berkerangka beton dibangun. Kini hasilnya sudah tampak di beberapa bagian bantaran Sungai Martapura, sungai yang membelah Banjarmasin. Dananya diambilkan dari anggaran daerah (APBD) Banjarmasin Rp 15 miliar. "Tidak ada bantuan dari pemerintah pusat," tutur Kepala Sub-Drainase Permukiman dan Prasarana Kota Banjarmasin Murianta. Kehidupan air seperti aktivitas jual-beli di atas jukung (sampan) kini bisa ditemui kembali di bantaran Sungai Martapura, tepatnya di depan kantor Gubernur Kalimantan Selatan dan Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Perahu khusus untuk wisata juga siap melayani mereka yang ingin menikmati kehidupan sungai. Tidak hanya itu, pencemaran sungai juga dikurangi dengan pembuatan instalasi pengolahan air limbah. Air yang dihasilkan kemudian dijual kepada warga. Saat ini sudah dibangun tiga instalasi dengan kapasitas terpasang 3.100 meter kubik per hari, yang mampu melayani 43.056 jiwa atau 14 persen dari 602.725 jiwa penduduk kota. Menurut Direktur Perusahaan Daerah Instalasi Pengolahan Air Limbah Banjarmasin Muhidin, tarif pelanggan instalasi untuk rumah tangga hanya 25 persen dari harga air bersih Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). "Saya pakai air hasil olahan sungai untuk mandi dan mencuci. Kalau untuk minum dan masak masih beli air PDAM," tutur Hani, warga yang bermukim di bantaran Sungai Kuin, Banjarmasin. Adapun distribusi air bersih dari PDAM Banjarmasin boleh dikatakan sangat bagus. Mereka mampu melayani 550 ribu pelanggan di 50 kelurahan atau 98 persen warga. "Dari 340 PDAM di Indonesia, baru perusahaan yang di Banjarmasin yang bisa untung," ujar Direktur PDAM Zainal Arifin. Perlahan namun pasti, bermula dari Kampung Mahligai, kebijakan yang berpihak pada usaha kembali menghargai sungai terus dikembangkan di Banjarmasin. Tatanan kota yang menghargai keberadaan air juga makin tampak nyata. Post Date : 04 Januari 2009 |