Ngatiman sibuk mengorek-ngorek tumpukan daun, batang, dan sisa sayuran yang ada di kotak sampah. Di sebelahnya ada kotak berisi sampah yang telah hancur dan menjadi kompos. Rekan-rekannya yang lain ikut memilah sampah. Ada pula yang menyobek-nyobek kertas tidak terpakai dan menghancurkannya dengan blender. Mereka latihan membuat daur ulang kertas bekas.
Ngatiman, guru SD Negeri Semper, Jakarta Utara, dan rekan-rekannya sedang mengikuti pelatihan pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat. Pelatihan yang diadakan UNESCO dan Komunitas Lingkungan Hidup Kampung Banjarsari itu diikuti oleh 100 guru dari 50 sekolah dasar di Jakarta. Dinas Pendidikan Provinsi Jakarta yang menentukan sekolah negeri dan swasta bertaraf nasional yang menjadi peserta.
Pelatihan ini jadi unik karena diadakan di Kampung Banjarsari yang terletak di Kelurahan Cilandak Barat, Jakarta Selatan. "Selain teori, kami langsung praktek membuat kompos. Akan saya ajarkan kepada murid-murid," kata Ngatiman pada 24 Juli lalu. Ibrahim, peserta lain, bertekad membuat green school di SD Wijaya Kusuma Grogol, Jakarta Barat. "Pada setiap apel pagi akan saya tanamkan," ujarnya.
Selama ini ada materi Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta bagi siswa sekolah dasar. Namun, pelajaran muatan lokal tersebut lebih banyak pada pengenalan budaya Betawi. Kebanyakan kepala sekolah melakukan bersih-bersih menjelang penilaian lomba lingkungan hidup. Atasan mereka yang mendorong dan menyediakan pot-pot tanaman untuk menang dalam kompetisi tersebut.
Menurut Rhampini Suryani, Science Policy & Sustainable Development Unit UNESCO, pelatihan ini merupakan pilot project. Pihaknya ingin memberi penyadaran kepada siswa sekolah dasar tentang lingkungan hidup di sekitarnya. Pendidikan lingkungan, kata dia, harus mulai diberikan sejak usia dini. "Kali ini kami latih terlebih dulu para kepala sekolah dan guru," ujarnya.
Kampung Banjarsari sengaja dipilih karena warga di lingkungan ini sudah lama mempraktekkan budaya sehat. Ada pemilahan sampah dan pembuatan kompos, pepohonan yang membuat jalan jadi teduh, serta para warga aktif dalam kelompok lingkungan hidup. Sejak 1996, UNESCO merancang program pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat. Kampung Banjarsari menjadi salah satu pilot project yang pertama. Pemerintah Provinsi Jakarta akhirnya menjadikan Kampung Banjarsari sebagai salah satu tempat tujuan wisata komunitas.
Mulai 2005, kampung ini menyelenggarakan pelatihan pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat. Setiap peserta dipungut biaya Rp 60 ribu untuk kursus dari pukul 09.00 hingga 16.00. Peserta mendapat makan siang dan bahan-bahan pembuatan kompos. Instruktur pelatihan ini adalah warga Banjarsari antara lain Nuning Wirjoatmodjo, Trisnanto, Agustin Rianto, dan Kwarta Sari Rifai. Nuning yang jadi pengurus Gerakan Pramuka, mendapat anugerah Kalpataru 2009 tingkat Jakarta untuk kategori Pembina Lingkungan.
Para guru dari lima wilayah Jakarta dibagi ke dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok mengikuti pelatihan selama dua hari di rumah keempat instruktur. Pada hari pertama mereka mendapat pemahaman program dan pemilahan hingga pengomposan. Materi lain tentang konsep 4 R atau reduce (menghemat pemakaian), reuse (memakai ulang), recycle (mendaur ulang), dan replant (menanam kembali). Peserta juga mendapat makanan dan minuman sehat seperti sirup belimbing sayur, air jahe, dan lainnya.
Selain teori, peserta praktek dengan bahan dan alat peraga yang tersedia. "Kami ajarkan metode wayang lingkungan," kata Nuning. Tokoh wayang adalah hewan-hewan di darat dan laut serta pepohonan yang terbuat dari kardus bekas. Untuk memainkannya, digunakan bekas pohon pisang. Menurut Nuning, wayang ini buatan seniman dari Magelang.
Pada hari kedua, peserta mendapat materi green school dan perubahan iklim. Materi perubahan iklim disampaikan oleh Untung Widyanto, presenter The Climate Project yang dua pekan lalu mengikuti Al Gore's Climate Change Leadership Program di Melbourne, Australia. "Pembusukan sampah menghasilkan metana, salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global," ujar Untung Widyanto pengurus Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Setelah itu, peserta mengunjungi SMA 34 di Pondok Labu yang telah menerapkan green school atau sekolah ramah lingkungan.
"Penerapan green school menuntut perubahan pola pikir dan perilaku kepala sekolah dan guru," kata Nuning, yang pada 1981-2004 menjadi karyawan UNESCO. Program yang dapat dilakukan sekolah antara lain pemilahan sampah, penghijauan (termasuk tanaman obat), pengomposan, mendirikan pusat daur ulang, penghematan pemakaian listrik dan air, membuat papan berita lingkungan, dan kerja sama dengan pemulung tepercaya.
Kantin sekolah, menurut dia, juga harus dilibatkan dengan menyediakan makanan sehat dan peralatan yang ramah lingkungan. Kantin ini harus di bawah pengawasan kepala sekolah atau guru yang ditunjuk. Kini Nuning menjadi tempat bertanya 100 guru yang telah mengikuti pelatihan. Termasuk Ibrahim yang ingin menerapkan green school di sekolahnya. UNTUNG WIDYANTO
Post Date : 03 Agustus 2009
|