|
SOLO (KR) - Privatisasi layanan air bersih yang diantaranya telah diterapkan di Indonesia, dinilai bukan langkah tepat di masa mendatang. Bahkan, kenyataan selama ini menunjukkan, privatisasi layanan air bersih, tak mampu menjamin akses air bersih bagi seluruh masyarakat. Ini terjadi, karena perusahaan air swasta hampir tidak mungkin mau berinvestasi di kota-kota miskin yang tidak memiliki jaminan keuntungan sebagai satu tujuan utama perusahaan swasta, ungkap Oliver Hoedeman, Corporate Europe Observatory (CEO), Belanda saat Seminar Strategi Pembangunan Penyediaan Air Minum, di Aula Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Solo, Kamis (18/8). Mengutip hasil studi Asian Development Bank (ADB) di 18 kota di Asia, termasuk Jakarta, Oliver menambahkan, layanan air bersih yang telah dikelola perusahaan swasta, masuk dalam kategori buruk dalam hal cakupan layanan serta investasi yang ditanamkan. Bahkan kinerja perusahaan swasta dan publik dalam layanan air bersih, tidak ada perbedaan sistematis. Justru itulah, diyakini perusahaan publik akan lebih menjamin layanan air bersih di masa depan. Demikian juga kondisi yang ada saat ini, sekitar 90 persen penduduk dunia yang memiliki akses air bersih, justru dilayani badan publik. Apapun alasannya, pilihan menentukan badan pemberi layanan air bersih, merupakan pilihan fundamental. Apakah air akan dikelola perusahaan swasta yang mendedikasikan seluruh usahanya untuk mendapatkan profit serta memuaskan pemegang sahamnya di Eropa, atau dikelola badan lokal yang berada di bawah kontrol publik, sehingga menjamin seluruh layanan untuk kepentingan masyarakat, tegasnya. Diakuinya, badan publik yang kini telah mengelola layanan air bersih, belum seluruhnya tergolong sehat. Hanya saja, dengan berbagai upaya, diantaranya pelibatan pu-blik dalam proses pengelolaan, akan menjanjikan layanan sangat baik bagi kepentingan masyarakat itu sendiri. Sejauh ini, dari sekitar 301 unit perusahaan air minum di Indonesia, yang dikelola badan lokal, menurut Direktur Amrta Institute for Water Literacy Solo, Nila Ardhianie, dalam kesempatan sama, memang baru sekitar 10 perusahaan yang masuk kategori sehat, termasuk PDAM Solo. Ini adalah sebuah tantangan, bagaimana perusahaan lokal ini kelak bisa berkembang, terlebih setelah melihat kenyataan privatisasi layanan air bersih yang telah diterapkan di beberapa daerah di Indonesia, tidak menjamin layanan air bersih menjadi baik. Sekitar tahun 1990-an, memang lembaga keuangan internasional (IMF) bersama pemerintah di beberapa negara sempat mengklaim, manajemen air oleh swasta sebagai satu-satunya jalan untuk mendapatkan sumber dana yang cukup untuk memperluas layanan air bersih. Alasannya, manajemen swasta jauh lebih efisien ketimbang perusahaan publik. Tapi yang terjadi kemudian, sejak tahun 1997, investasi swasta di sektor air dan infrastruktur lainnya, ternyata lebih sedikit, bahkan terus mengalami penurunan. Itu artinya, harapan kepada sektor swasta dalam hal layanan air bersih, sungguh terlalu tinggi dan tidak realistis.(Hut)-c Post Date : 19 Agustus 2005 |