Melintas di Jalan Aria Putra, Ciputat, Tangerang Selatan, serombongan remaja putri berpakaian putih abu-abu terpaksa menutup hidung. Tepat di pinggir Pasar Ciputat, mereka berjingkat menghindari air lindi yang mengalir dari gundukan tinggi sampah yang berbau busuk tak karuan.
Meski sudah menjadi pemandangan lumrah bertahun-tahun, gunungan sampah di jalan itu tetap saja menjijikkan bagi mereka. Pasar Ciputat yang berada di tengah kota Tangerang Selatan (Tangsel) tak ubahnya seperti tempat pembuangan akhir sampah.
Hilir mudik pedagang melempar bungkusan ke gunungan sampah. Tak mau kalah, pengendara motor yang melintas pun turut melempar sampah dengan enaknya.
Sepuluh tahun sudah Nurhayati (55), penjahit di lantai dua Pasar Ciputat, berhadapan dengan gunungan sampah di tempat itu. ”Dari dulu tingginya juga segitu. Di ambil satu atau dua truk, besoknya nambah lagi yang baru,” kata Nurhayati sambil membetulkan masker penutup hidungnya.
Walaupun bertahun-tahun akrab dengan pemandangan itu, Nurhayati mengaku tak tahan dengan bau busuk tumpukan sampah di Pasar Ciputat. Karena itu, ia selalu mengenakan masker penutup hidung berwarna hijau muda saat bekerja.
Karena kondisi pasar yang kumuh, tak banyak penjual yang tertarik berdagang di kios Pasar Ciputat. Di lantai dua sisi kanan, hanya kios Nurhayati yang buka, sedangkan kios-kios lainnya tampak kosong tak berpenghuni dan berbau pesing.
Sampah menggunung di sisi kanan Pasar Ciputat memang sangat mencolok. Tak hanya volumenya, tapi aroma bau tak sedapnya sangat mengganggu siapa pun yang melintas, apalagi para pembeli.
Tepat di sebelah gundukan, mesin ekskavator teronggok. Namun, tak ada satu pun truk yang siap mengangkut.
Maman (28), seorang pedagang sayur mengungkapkan, setiap hari hanya satu atau dua truk yang datang mengambil sampah di Pasar Ciputat. Karena itu, gunungan sampah itu tak pernah berkurang, bahkan semakin menumpuk.
Tak beda dengan Pasar Ciputat, di Pasar Cimanggis bak-bak truk penuh sampah berjajar di depan pasar. Bau menyengat karena sampah membusuk dan tak segera diangkat.
Sementara itu, di sepanjang Jalan Dewi Sartika, kantong-kantong sampah berjajar di trotoar dan pembatas jalan. Kantong sampah yang tak jelas siapa pemiliknya muncul sejak pagi.
Untuk menghindari pembuang sampah liar, beberapa pemilik toko di Jalan Dewi Sartika memasang papan larangan.
Tak hanya di pasar, persoalan sampah juga dihadapi penghuni permukiman di Kota Tangsel. Belum juga tengah hari, Ny Wakhid (56) dua kali mengecek jemuran majikannya di halaman rumah. Sesekali ia melempar pandangan ke kanan kiri dan mengendus bau tak sedap yang dibencinya.
”Asap bakar sampah. Kalau sampai kena baju, baunya nempel. Harus dibilas dan dikasih pewangi lagi nanti,” katanya.
Tak jauh dari kompleks perumahan majikannya di Jalan Wijaya Kusuma, Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangsel, membakar sampah di tempat penampungan sampah sudah menjadi hal biasa. Asapnya menebar ke segala penjuru perumahan maupun perkampungan di kawasan itu. Tempat penampungan sampah di sini berupa lahan kosong di tepi kali kecil yang berjarak kurang dari 100 meter dari rumah warga terdekat.
”Kalau tidak rutin dibakar, sampah menumpuk terlalu banyak. Di sini kan sampah dibiarin, tidak diangkut lagi ke tempat penampungan akhir,” kata Mimin, warga setempat.
Warga sudah lama disuruh menanggung sendiri dampak sampah. Jadi, di manakah tanggung jawabmu wahai pemangku jabatan? (Pingkan Elita Dundu/Neli Triana/Aloysius B Kurniawan)
Post Date : 14 Januari 2011
|