Dana Selalu Jadi Kendala Pengendalian Banjir

Sumber:Kompas - 22 Juli 2008
Kategori:Banjir di Jakarta

Depok, kompas - Terbatasnya dana selalu menjadi kendala dalam pengendalian banjir di Jakarta. Kurangnya dana pembangunan berbagai infrastruktur pengendalian banjir tidak hanya baru dialami Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sekarang, tetapi sudah terjadi sejak zaman Belanda.

Demikian antara lain disampaikan sejarawan Restu Gunawan dalam sidang promosi doktornya di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Senin (21/7). ”Masalah utama yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda dalam usaha mengendalikan banjir Jakarta adalah dana yang terbatas sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan semua rencana yang sudah ditetapkan,” kata Restu yang bekerja di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sebagai salah satu kepala seksi di lingkungan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala.

Promovendus ini menambahkan, anggaran Kotapraja Batavia pada tahun 1910-1915 besarnya 1.250.795 gulden, sementara dana yang diperlukan untuk membangun kanal dan pintu air antara tahun 1913 dan 1915 besarnya mencapai 1.140.351 gulden.

”Berdasarkan angka ini, jelas terlihat bahwa untuk pengendalian banjir Pemerintah Batavia tidak bisa cuma mengandalkan anggaran kotapraja. Kotapraja atau Gemeente Batavia harus mencari bantuan ke Pemerintah Provinsi West Java atau Jawa Barat. Proses pengajuan dan penurunan dana pun membutuhkan waktu lama karena harus melalui penilaian berbagai instansi,” papar Restu dalam disertasinya yang berjudul Kala Air Tidak Lagi Menjadi Sahabat: Banjir dan Pengendaliannya di Jakarta Tahun 1911-1985.

Masalah dana juga menjadi kendala dalam pengendalian banjir pada 1965-1985. Menurut Restu, berdasarkan rencana tahun 1965-1985 untuk pengendalian banjir Jakarta, dibutuhkan dana sebesar Rp 80 miliar, tetapi sampai tahun 1984 hanya tersedia dana Rp 59,3 miliar. Beberapa proyek pengairan tak dapat dibangun. Pembebasan tanah yang menurut rencana luasnya akan mencapai 1.680 hektar, dalam realisasinya hanya mencapai 495 hektar. Dari tujuh waduk yang akan dibangun, yang akhirnya jadi hanya dua.

”Demikian pula gedung pompa yang cuma terbangun empat dari sembilan buah yang ditargetkan,” papar promovendus yang kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, 16 Juli 1969 ini.

Prof Dr I Ketut Surajaya menjadi promotor yang membimbing Restu dalam penyusunan disertasi ini, sementara dua sejarawan lain, yakni Prof Dr Susanto Zuhdi dan Dr Rudy P Tambunan, bertindak sebagai kopromotor.

Masih kata Restu, sejak tahun 1965, pemerintah membentuk Kopro Banjir. Namun, setelah berjalan selama 20 tahun, badan khusus yang menangani banjir ini juga ternyata gagal mengendalikan banjir Jakarta.

Dalam sidang kemarin, Restu tampak lancar menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan para anggota dewan penguji yang antara lain terdiri dari sejarawan senior Prof Dr RZ Leirissa dan Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum Dr Ir Ruchiyat Deni Jakapermana M Eng.

Menurut Prof Susanto, lewat disertasinya Restu melakukan hal baru dalam dunia ilmu sejarah Indonesia. ”Para sejarawan kita selama ini umumnya cuma mengkaji sejarah politik. Baru Restu yang melakukan kajian sejarah lingkungan,” kata guru besar sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI itu.

Seusai melakukan penilaian dalam sidang tertutup, tim penguji akhirnya meluluskan Restu sebagai doktor sejarah dengan predikat sangat memuaskan. (muk)



Post Date : 22 Juli 2008