Daerah Rawa dan Pantai Paling Sulit Mengakses

Sumber:Kompas - 23 Oktober 2006
Kategori:Air Minum
Agats, Kompas - Permasalahan akses air bersih bagi warga di daerah rawa berair payau dan kawasan pantai paling sulit diatasi. Teknologi yang ada masih terbatas dan mahal.

"Masih banyak warga di daerah rawa berair payau dan pantai yang belum terlayani kebutuhan air bersih dan sanitasi. Air baku yang ada hanya air payau atau air laut," ujar Direktur Perumahan dan Permukiman Bappenas Basah Hernowo, pekan lalu, kepada pers.

Persoalan tersebut antara lain tercermin di daerah rawa yang dihuni warga Asmat di Agats dan sekitar Kabupaten Asmat, Papua.

Dalam kunjungan ke Agats awal Oktober lalu, misalnya, terlihat warga di lingkungan tersebut mengandalkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Mereka menampung air hujan dengan wadah atau air hujan yang mengalir dari atap seng dialirkan melalui talang ke tempat penampungan.

Jika hujan tidak turun, warga Asmat terpaksa mengambil air dari dusun di tengah hutan dengan kualitas air yang juga meragukan. Air dari dusun itu berwarna kemerahan. Dusun tempat pengambilan air biasanya terletak di tengah hutan ditempuh dengan menggunakan perahu dayung dan berjalan kaki.

Untuk kebutuhan air minum warga memanfaatkan air hujan tersebut atau terpaksa membeli air minum dalam kemasan.

Air minum dalam kemasan di daerah yang terpencil itu dijual setidaknya tiga kali dari harga di kota-kota di Pulau Jawa. Keterbatasan air bersih tersebut juga memengaruhi kondisi sanitasi warga.

Tidak hanya di kawasan hunian warga Asmat, Basah menambahkan, di daerah lahan gambut dan pantai permasalahan serupa terjadi.

"Warga Suku Bajo di Sulawesi Selatan yang tinggal di atas laut kesulitan mendapatkan air bersih lantaran sumber air bersih dan tawar jauh. Namun, kami juga tidak mungkin memindahkan Suku Bajo dari laut karena turun- temurun mereka telah hidup demikian," ujarnya.

"Reverse Osmosis"

Basah Hernowo mengatakan, belum ada teknologi yang mumpuni dan terjangkau untuk mengatasi permasalahan akses air bersih di daerah berair payau atau asin tersebut.

Salah satu cara untuk desalinasi air mengandung garam ialah teknologi reverse osmosis, yakni penyaringan pada tingkat molekul. Sayang, teknologi ini mahal dan perawatannya cukup rumit

Hal ini diakui Ketua Umum Forum Komunikasi Pengelolaan Kualitas Air Minum Abdullah Muthalib.

Abdullah yang mantan Direktur Penyehatan Air dan Pengamanan Limbah Departemen Kesehatan pernah tergabung dalam kegiatan pembangunan reverse osmosis di sejumlah provinsi.

Kelebihan teknologi tersebut, menurut dia, air yang dihasilkan layak minum dan cukup banyak dalam waktu cepat. Namun, biaya yang dikeluarkan mahal dan perawatan sulit. "Tahun 1999 untuk membangun instalasi dengan hasil 10 meter kubik air per hari saja dibutuhkan biaya Rp 600 juta untuk satu desa."

Awalnya warga senang karena memperoleh air bersih yang langsung dapat diminum tanpa di masak. Akan tetapi, hasil program tersebut kemudian tidak memuaskan karena pemerintah daerah tidak merawat instalasi itu sehingga akhirnya rusak. "Teknologi itu memang syaratnya harus ada teknisi khusus yang menangani," katanya.

Pemerintah, menurut Basah, terus mencari jalan terbaik untuk mengatasi masalah akses air bersih bagi warga di daerah air payau dan pantai tersebut. (INE)



Post Date : 23 Oktober 2006