|
SEMARANG- Pemkot Semarang diminta lebih berhati-hati dalam memberikan izin pengambilan air tanah. Setiap izin harus mengacu pada pengendalian air tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Lingkungan Geologi (PLG) Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Berdasarkan penelitian PLG, dihasilkan rekomendasi ada enam zona pengendalian air tanah di Kota Semarang. Hasil kajian menunjukkan, dua zona di daerah pantai dinyatakan masuk daerah kritis dan daerah rawan. ''Pemkot jangan hanya beroritentasi PAD (pendapatan asli daerah-Red), karena nilainya kecil dan tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan. Zona pengendalian ini dibuat dengan memperhatikan dampak negatif yang timbul, seperti perubahan kualitas air dan amblesan tanah,'' kata Sihwanto, salah satu peneliti dari Tim Peneliti PLG untuk Kota Semarang dalam sosialisasi informasi geologi lingkungan dalam perencanaan wilayah di Balai Kota, kemarin. Tiga peneliti lain yang masuk dalam tim adalah Arismunandar, Wayan Mudiana, dan Nicodemus Rimbaraya. Berdasarkan persebarannya, wilayah yang masuk daerah kritis terletak di dataran pantai, meliputi Tanah Mas, Kampung Peres, Stasiun Tawang, Bandarharjo, Pelabuhan Tanjung Emas, Pengapon, Kaligawe, Terboyo, dan Genuksari. Sementara dataran pantai yang memasuki daerah rawan adalah Ngebruk Jrakah, Tambakharjo, Puri Anjasmoro, Poncol, Johar, Rejosari, Gayamsari, Kabluk, dan Pedurungan. Adapun, wilayah sisanya masuk daerah aman. Dia mengatakan, dalam 20 tahun terakhir, jumlah pengambilan air tanah di wilayah Semarang telah mengalami peningkatan lebih dari tiga kali lipat atau 329,4%. Dengan demikian, setiap tahunnya naik rata-rata 16,5%. Sementara, jumlah sumur bor mengalami peningkatan lebih dari sembilan kali lipat atau 940,2%. Penggunaan air tanah yang tinggi itu, kata dia, mengakibatkan degradasi air tanah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Di daerah dataran pantai, ditunjukkan dengan adanya penurunan muka air tanah lebih dari 25 meter. (H12, H9-62) Post Date : 05 Mei 2006 |