Daerah-Daerah Menonjol dalam Pembangunan Sanitasi

Sumber:Pro Otonomi - 24 Agustus 2009
Kategori:Sanitasi

Perebutan trofi Otonomi Awars 2009 bidang sanitasi berlangsung kompetitif. Selain Lumajang yang memboyong awards dengan parameter baru itu, Nganjuk, Trenggalek, dan Kota Blitar sangat menonjol inovasinya. Berikut laporan peneliti the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) Wawan Sobari.

Pada era 1970-an, pemerintah memopulerkan model bantuan jamban keluarga. Dengan mengelontor dana yang cukup banyak, masyarakat didorong untuk membuat saluran sanitasi yang sehat. Namun, proyek itu tidak terlalu sukses karena gagal menggugah kesadaran masyarakat tentang arti pen­ting sanitasi. Pemberian bantuan tersebut tidak mampu mengubah kebiasaan masyarakat buang air besar (BAB) sembarangan.

Kini kampanye sanitasi berlangsung sukses di sejumlah kabupaten. Salah satu faktor pentingnya adalah mengugah kesadaran masyarakat. Keterlibatan masyarakta sangat tinggi sehingga pemerintah tak harus menggelontorkan dana.

Kabupaten Trenggalek cukup berhasil menerapkan pendekatan pembangunan sanitasi tanpa subsidi. Kalaupun pemkab mengalokasikan APBD hingga Rp 1 miliar dalam kurun 2007-2009, itu bukan untuk bantuan pembangunan fisik jamban. Dana itu hanya digunakan untuk pelatihan fasilitator, pemi­cuan, dan monitoring.

Dana partisipasi masyarakat di Trenggalek untuk membangun jamban jauh lebih besar. Hingga Juli 2009, swadana masyarakat untuk pembangunan jamban sekitar Rp 6,5 miliar. Alhasil, tercatat 28 desa di Trenggalek telah terbebas dari kebiasaan masyarakat BAB di sembarang tempat (ODF) hingga Juli 2009.

Bahkan, dalam satu kesempatan talkshow di JTV pada awal Agustus ini (9/8), masyarakat Trenggalek punya target ambisius. Melalui pernyataan Bupati Soeharto, Trenggalek menargetkan kondisi ODF untuk seluruh wilayah pada 2010

Komitmen bupati yang cukup tinggi menjadi kunci percepatan ODF di Trenggalek. Begitu pula kejelian memilih strategi kampanye sanitasi sehat terhadap masyarakat. Mengingat kondisi sosiokultur masyarakat yang religius, pemkab menggandeng Kantor Departemen Agama Trenggalek untuk berpartisipasi.

Caranya, memberikan pembekalan materi sanitasi kepada para penyuluh agama. Dengan begitu, penyuluh aga­ma bisa memasukkan materi pentingnya sanitasi sehat dalam perspektif Islam. Selain itu, dalam acara safari Ramadan, bupati selalu menyelipkan materi sanitasi.

Sementara Kota Blitar memiliki strategi yang menyesuaikan karakteristik kawasan perkotaan dalam pembangunan sanitasi. Pemkot menggagas program peningkatan kualitas sanitasi berbasis masyarakat. Fokusnya terutama pada pembangunan sanitasi perkotaan yang berpihak kepada masyarakat miskin.

Persoalan sanitasi di kawasan perkotaan seperti Kota Blitar memang agak berbeda dengan kawasan pedesaan. Pencapaian ODF bukan lagi target utama di Kota Blitar. Sebab, penggunaan dan kepemilikan jamban sehat sudah cukup tinggi.

Implementasi program tersebut pada tingkat masyarakat, antara lain, pengelolaan sanitasi kawasan terpadu dan berkelanjutan yang berada di Kelurahan Sukorejo. Kemudian, pelestarian dan pengelolaan lingkungan terintegrasi sepanjang Sungai Tempur di Kelurahan Pakunden. Serta program sanitasi pesantren (sanitren) di Ponpes Nurul Ulum, Kelurahan Bendo.

Pengelolaan sampah di Kota Patria ini juga sudah cukup maju dengan tetap mengedepankan peran masyarakat. Di antaranya, melalui pembentukan kelompok warga peduli sampah. Ada pula kegiatan kampanye dan anugerah Patria Asri, kampanye pengurangan penggunaan kantong plastik dan pengembangan teknologi pengelolaan sampah IPESATU.

Keberlanjutan pembangunan sanitasi di kota Blitar pun relatif terjamin. Pemkot telah menetapkan rencana strategis pembangunan sanitasi Kota Blitar 2008-2012. Rencana tersebut mengagendakan peningkatan kebutuhan, penyediaan, iklim kondusif, dan pemasyarakatan sanitasi dalam kurun lima tahun.

Sementara itu, Kabupaten Nganjuk kembali mengawali pembangunan sanitasi setelah model penyediaan jamban keluarga mengalami kegagalan. Program tersebut dinilai kurang berhasil karena tidak menyentuh aspek psikososial masyarakat. Penyadaran tentang sanitasi yang sehat tidak ditanamkan terlebih dahulu. Akibatnya, masyarakat hanya menganggap itu sebagai program pemerintah dan bukan kebutuhan mereka.

Berkaca dari kegagalan tersebut, pemkab mencoba mengadopsi com­munity-led total sanitation (CLTS) dan sanitasi total dan pemasaran sanitasi (SToPS). Dua model tersebut menempatkan masyarakat sebagai agen perubahan. Masyarakat melakukan sendiri, mulai penentuan masalah, strategi, hingga pemecahan masalah sanitasi.

Hasilnya, kepedulian dan partisipasi masyarakat cukup tinggi guna mendorong penggunaan dan pemilikan jamban sehat. Tidak ada dana sepeser pun dari APBD yang digunakan untuk penyediaan sarana sanitasi kepada masyarakat.

Pada 2008, dana masyarakat yang terhimpun untuk membangun sarana sanitasi secara swadaya Rp 547 juta. Dengan kata lain, setiap Rp 1 yang dikeluarkan pemda untuk fasilitasi telah memancing partisipasi masyakat Rp 5,50 untuk pembangunan sanitasi.

Salah satu desa yang cukup sukses membebaskan kebiasaan warganya BAB di sembarang tempat adalah Desa Perning. Dalam waktu tiga bulan saja, perilaku sanitasi seluruh warga Desa Perning telah berubah.

Dalam deklarasi ODF, warga Desa Perning berkomitmen untuk bersanitasi sehat. Salah satu isinya adalah pemberian sanksi berupa denda Rp 100 ribu jika diketahui ada warga yang masih BAB di sembarang tempat.

Selain itu, kesadaran sanitasi sehat telah mendorong munculnya jejaring pemasaran sanitasi di Nganjuk. Yakni, berupa tumbuhnya pasar bagi penyediaan jamban sehat dan murah dengan harga yang terjangkau masyarakat. (tof)



Post Date : 24 Agustus 2009