|
DENGAN curah hujan tinggi, sebanyak 4.000 milimeter (mm) dalam 200 hari hujan per tahun, Bogor memang potensial sebagai 'pengirim' banjir ke DKI Jakarta. Seperti disebut Andi Sudirman, 37, penjaga pintu air bendung Katulampa (PABK) Sungai Ciliwung di daerah Tajur, Kota Bogor, jika hujan turun selama satu hari dengan kapasitas curah hujan 40 mm saja, air permukaan Sungai Ciliwung langsung naik 100 sentimeter atau satu meter. Bahkan, dengan curah hujan 85 mm sehari saja, urai Andi, air Sungai Ciliwung yang masuk ke pintu air Bendung Katulampa langsung meningkat menjadi dua meter. Inilah yang menyebabkan munculnya pemeo 'Bogor pengirim banjir ke Ibu Kota' setelah gelora terjangan air bah kerap merendam sebagian wilayah DKI Jakarta yang tinggal di sekitar bantaran Sungai Ciliwung. Soalnya, Ciliwung ialah salah satu dari 13 aliran sungai yang mengalir sampai ke Jakarta. "Apalagi jika dalam enam jam perjalanannya ke Jakarta, gelegak air permukaan Sungai Ciliwung hulu ini bertambah dengan curah hujan merata di daerah-daerah yang dilaluinya, membuat sebagian besar wilayah Jakarta pun langsung kelelep," kata karyawan rendahan yang telah 18 tahun menjadi tenaga honorer ini. Tetapi, bisa dipastikan kondisi itu tidak berdiri sendiri. Artinya, warga Ibu Kota, termasuk Gubernur Sutiyoso juga harus introspeksi diri. Dari banjir bandang (besar) yang merendam wilayah Jakarta, sumbangan besar juga datang dari sistem drainase kota yang semrawut dan tidak berfungsi dengan baik. Salah Ibu Kota Persiapan itu yang tak terlihat ketika air bah menenggelamkan hampir sebagian besar wilayah Jakarta dalam dua kali peristiwa. Pertama, banjir besar yang merendam sebagian DKI Jakarta pada 1996. Ketika itu, kondisi ketinggian air permukaan di Katulampa mencapai 250 di papan mercu. Itu berarti meningkat dari biasanya 0-20 sentimeter dengan debit dua sampai empat meter kubik per detik (m3/dt) menjadi 2,5 meter dengan debit air 740 m3/detik meter. Dalam perjalanan enam jam ke Jakarta, ditambah debit air hujan di daerah Depok, air Sungai Ciliwung mengakibatkan areal sekitar bantaran sungai terendam. Kedua, tak jauh berbeda saat 2004, ketika hujan lebat di kawasan Puncak mengakibatkan air permukaan Ciliwung yang masuk ke PABK mencapai ketinggian 200 di papan mercu atau dua meteran dengan debit 400-600 m3/detik. Dalam perjalanan enam jamnya ke Jakarta, air Ciliwung menyatu dengan hujan merata, juga dari Bogor-Depok-Jakarta, ditambah lagi dengan air laut pasang, sebagian besar Kota Jakarta termasuk sekitar Istana Merdeka langsung kebanjiran. Padahal, dalam sejarahnya seumur-umur istana tak pernah tersentuh air banjir. Satu hal, memang tak bisa dimungkiri, kerusakan lingkungan di Bogor termasuk parah. Kerusakan ini lebih dimungkinkan dari tiga fungsi geografis Kabupaten Bogor yang saling bertolak belakang, tetapi harus mampu diemban sekaligus. Selain difungsikan menjadi kawasan konservasi air dan tanah, sekaligus Kawasan penyangga DKI Jakarta dalam hal permukiman, sebagai bagian dari Kota Metropolitan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Lalu, masih menjadi kawasan penyuplai hasil produk industri dan pertanian, khususnya industri manufaktur dan hortikultura. Dari beragam benturan itulah, kerap menjadi lahan kepentingan yang menggiurkan bagi para oknum. Para oknum pejabat dan aparat di Bogor gampang terlena dengan rayuan para pemilik duit, terutama dari Jakarta. Akibatnya, mereka melupakan aspek lingkungan dalam pembangunan vila dan rumah peristirahatan dengan segala fasilitasnya. Data yang diperoleh Media dari berbagai sumber di Pemerintah Kabupaten Bogor maupun para pakar di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan para pakar limnologi (masalah air) se-Indonesia membuktikannya. Tanpa peduli pada dampak lingkungan, pembangunan yang menyalahi peruntukan lahan terus saja muncul. Akibatnya, ekosistem rusak dan banjir kiriman menjadi pemandangan setiap tahunnya. Sesuai standar nasional, setidaknya luas hutan haruslah 30% dari luas wilayah. Dengan luas sekitar 317.102 hektare atau 3.171,02 km2, kondisi di Kabupaten Bogor tidak berimbang. Bahkan, beberapa lokasi hutan lindung yang benar-benar tak boleh dijamah terancam lenyap. Bayangkan, luas hutan di wilayah itu hanya 18,31 persen atau seluas 58.069,04 hektare, yang di dalamnya terdapat lahan kritis seluas 20.372,89 hektare. Sedangkan hutan lindung tinggal 18.51,46 hektare. Kalau tak segera ada tindakan tegas, bisa jadi Andi Sudirman akan selalu kerepotan menjaga pintu air. (Daatje S Ahmad/Dede Susianti/J-1) Post Date : 27 September 2005 |