|
Siapa yang tak kenal dengan kegiatan cuci tangan? Bisa dibilang ini adalah kegiatan paling umum yang dilakukan di seluruh dunia. Tapi apakah cara yang kita lakukan sudah benar? Belum tentu. Hal itu terungkap dalam dua penelitian yang dilakukan oleh Yunita Wahyuningrum dan Katie Greenland. Dua peneliti tersebut memaparkan hasil penelitiannya di Jakarta, pekan lalu, dalam Lifebuoy Journalist Class, salah satu dari rangkaian acara Hari Cuci Tangan Pakai Sabun, yang jatuh pada 15 Oktober 2011. Riset Yunita Wahyuningrum berjudul Studi Formatif Perilaku Higienitas menyimpulkan orang baru akan mencuci tangannya dengan menggunakan sabun jika tangannya terlihat kotor dan berbau. "Jadi orang cenderung mencuci tangan pakai sabun ketika tangannya terlihat kotor," kata peneliti komunikasi kesehatan dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Center for Communication Program Jakarta, itu. Orang jarang mempertimbangkan bahwa kuman berukuran mikroskopik dapat berkembang biak dan berkeliaran di tangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jakarta Timur, Serang, Tangerang, Sumedang, Karang Anyar, Gorontalo, dan Lombok Barat itu ditemukan perilaku yang tak sesuai dengan standar. Orang mencuci tangan sesudah makan, bekerja, atau melakukan aktivitas tertentu. "Waktu penting yang dianjurkan adalah sebelum menyiapkan makanan, menyusui, dan menceboki bayi malah jarang disebutkan responden," ujar Yunita. Padahal, berdasarkan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2010, tercatat orang Indonesia punya cara buang air besar yang berbeda-beda. "Sebanyak 51,1 persen improved atau sempurna, 25 persen unimproved, dan 17,2 persen dengan open defacation atau buang air di tempat terbuka, seperti di kebun dan sungai," kata Yunita. Tempat buang hajat itu tidak hanya soal fasilitas. Menurut Yunita, sering kali ini berkaitan dengan sugesti. "Ada yang karena terbiasa di tempat terbuka, merasa kehilangan kesempatan untuk bersosialiasi dengan teman-temannya yang bisa dilakukan sambil buang hajat," katanya sambil tertawa. Hasil Riskesdas 2007 memperlihatkan penduduk Indonesia berusia 10 tahun ke atas yang berperilaku benar dalam buang air besar sebesar 71,1 persen. Dari angka tersebut, yang mencuci tangan pakai sabun dengan benar hanya 23,2 persen. Ada banyak alasan mengapa orang tidak mencuci tangan pakai sabun dengan benar. "Dari malas, lupa, hingga tidak sempat," kata Yunita. Dalam keluarga ternyata juga tak semua anggota merasa punya kewajiban. "Uniknya, hanya ibu dan anak yang mempunyai kesadaran cukup tinggi. Sedangkan kelompok bapak-bapak cenderung tak peduli dan menganggap kegiatan cuci tangan sebagai kegiatan tak penting." Peneliti lain, Katie Greenland, dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris, meneliti hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan masalah diare dan kematian bayi (Neonatal). Greenland tergelitik untuk meneliti kegiatan cuci tangan di Serang, Banten. Sebab, berdasarkan catatan badan kesehatan dunia (WHO), di Indonesia, dari 15 persen masalah diare 22 persen menjadi penyebab kematian paling tinggi pada kelompok anak di bawah lima tahun. Dari penelitian Greenland terhadap para ibu di Serang, para ibu ternyata lebih sering mencuci tangan dengan menggunakan sabun setelah melakukan kegiatan tertentu dibanding dibanding cuci tangan sebelum kegiatan. Hasilnya cukup mengejutkan. Hanya 5 persen yang mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan, 1 persen sebelum menyusui, dan nol persen alias tak pernah cuci tangan saat menyajikan makanan dan sebelum makan. "Bahkan mereka beralasan mencuci tangan setelah buang air besar lebih karena untuk menghilangkan bau tak sedap," kata Greenland. Penelitian itu tak jauh dengan riset Greenland di 11 negara. Di Ghana, India, Madagaskar, Kirgistan, Senegal, Peru, Cina, Tanzania, Uganda, Vietnam, dan Kenya, kebiasaan masyarakat mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan hanya 13 persen, setelah dari toilet 17 persen, dan sebelum memberikan makanan pada anak-anak 5 persen. Ihwal hasil penelitian Greenland dan Yunita, PT Unilever Tbk terlibat dalam gerakan mencuci tangan tangan dengan sabun, serupa dengan acara di dunia lain yang belum terbiasa melakukan kegiatan cuci tangan dengan sabun. "Karena itu, kami mencetuskan Gerakan 21 Hari untuk membentuk kebiasaan sehat itu," kata Senior Brand Manager Lifebuoy Amalia Sarah Santi. "Jika gagal pada hari ke-20, maka pribadi yang punya komitmen itu harus memulai dari awal lagi. Bisa sehat karena biasa menjaga kesehatanmu." | UTAMI WIDOWATI Post Date : 18 Oktober 2011 |