|
Berbeda dari tsunami yang melanda Aceh pada akhir 2004, banjir yang terjadi hampir di seluruh penjuru Tanah Air belakangan ini sepenuhnya adalah ''man made disaster''. Semua akibat kesalahan yang kita perbuat, yang pada akhirnya harus dibayar mahal. Bukan saja korban harta benda, melainkan juga nyawa manusia. Berbeda dari tsunami yang melanda Aceh pada akhir 2004, banjir yang terjadi hampir di seluruh penjuru Tanah Air belakangan ini sepenuhnya adalah ''man made disaster''. Semua akibat kesalahan yang kita perbuat, yang pada akhirnya harus dibayar mahal. Bukan saja korban harta benda, melainkan juga nyawa manusia. Ironisnya, seiring dengan banjir besar di DAS Bengawan Solo yang merupakan wilayah padat penduduk, yang mencuat justru sikap saling tuding di antara para pemangku kepentingan. Mereka ribut, saling menyalahkan, dan mencari kambing hitam. Sementara itu, rakyat yang tidak berdaya menjadi korban. Masyarakat korban banjir yang sangat menderita dan trauma, selain membutuhkan bantuan, juga meminta pemerintah agar banjir tidak terulang lagi. Karenanya, koreksi serius atas kesalahan yang telah dibuat tidak bisa ditawar lagi, mesti segera dilakukan, meski hal itu jelas tidak mudah. Kesulitan pertama muncul dalam deliniasi wilayah banjir dan genangan, penentuan jenis dan alokasi bantuan, serta penanganan masalah pasca-banjir. Sayang, data dan informasi yang komprehensif untuk menjawab pertanyaan itu sebagian merupakan data tabular. Akibatnya, informasi sebelum kejadian, pada saat kejadian, sampai pasca-kejadian banjir tidak dapat direpresentasikan secara utuh dan kinerja program mitigasi banjir tidak dapat dievaluasi secara transparan. Kualitas data tabular yang marjinal dalam pemantauan banjir dan genangan sangat berbahaya karena rawan di-blow up untuk berbagai kepentingan. Pemanfaatan data pengindraan jauh merupakan keharusan untuk mencari solusi fundamental masalah banjir. Berkaitan dengan itu, setidaknya diperlukan data spasial dan temporal tentang asupan curah hujan dan sistem DAS yang meliputi tutupan lahan, topografi, dan pola jaringan hidrologi sungai. Di mana data didapat? Adalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang telah lama merekam liputan awan dan sistem DAS. Pada saat ini, Lapan menyediakan data tutupan lahan yang dihasilkan citra Landsat TM, dengan resolusi spasial 30 meter dan resolusi temporal 16 hari. Untuk memantau keawanan dan siklon, tersedia citra Modis dan NOAA, dengan resolusi spasial 250 meter dan 1 kilometer, yang bisa disinergikan dengan data cuaca BMG. Untuk merepresentasikan kondisi topografi, tersedia data digital elevation model (DEM), dengan resolusi 30 meter. Keunggulan data spasial yang dihasilkan citra satelit yang multi-temporal dalam penanganan banjir adalah dimungkinkannya untuk melakukan sistem peringatan dini dan pemutakhiran (up date) data spasial secara reguler. Berdasarkan data citra modis terakhir, 4 Januari 2008 (Gambar 1a), curah hujan diprakirakan masih terjadi, karena liputan awannya masih tebal. Hujan lebat dalam waktu panjang kecil sekali peluangnya, karena siklon di selatan Pulau Jawa, yang pada 2 Januari muncul, telah hilang. Sedangkan dalam hal lokasi genangan, dengan memanfaatkan data DEM, terlihat dengan jelas luas dan lokasinya. Wilayah yang bertopografi paling rendah sangat sensitif terhadap banjir. Berdasarkan informasi data spasial biofisk DAS Bengawan Solo, maka fokus penanganan dapat diarahkan ke kecamatan yang paling berat mengalami genangan. Hasil pemantauan lapangan menunjukkan, daerah rawan banjir juga terjadi pada pertemuan dua sungai utama yang mengalirkan air dalam debit tinggi, seperti kota Surakarta, Sragen, dan Ngawi. Sedangkan Bojonegoro dan Lamongan adalah wilayah hilir dan bertopografi cekungan yang merupakan muara/limpasan air dari hulu, sehingga wilayah genangannya paling besar Dari sisi mitigasi banjir pasca-bencana, semua pemangku kepentingan harus mewaspadai alih fungsi lahan hutan yang memicu peningkatan aliran permukaan dan pendangkalan waduk. Hasil interpretasi tutupan lahan dengan citra Landsat tahun 2005 menunjukkan, pada saat ini kondisi hutan lebat di DAS Bengawan Solo sangat kritis karena luasnya hanya 51.462 hektare (2,59%). Sedangkan penggunaan lahan dominannya adalah: sawah 635.698 hektare (31.98%), perkebunan 570.007 hektare (28.58%), dan belukar 449.365 hektare (22.61%). Alih fungsi lahan sawah menjadi permukiman pada saat ini sangat tinggi lajunya, terutama di kawasan Industri dan perkotaan, sehingga laju infiltrasi air sangat rendah, bahkan mendekati nol. Perkebunan dan belukar umumnya merupakan dampak penjarahan hutan pasca-reformasi. Tanpa tindakan konservasi tanah dan air yang memadai, wilayah tersebut merupakan sumber utama penghasil sedimen karena laju erosi, sedimentasi, dan aliran permukaannya sangat tinggi. Berdasarkan dinamika tutupan lahan DAS Bengawan Solo hulu (Ngawi ke hulu), penghutanan kembali kawasan hutan dan penampungan air dalam bendung dan bendungan kecil di kawasan hulu merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Langkah tersebut, selain dapat mengoptimalkan cadangan air di kawasan hulu DAS, juga dapat menekan laju sedimentasi ke waduk besar. Dalam kasus banjir kali ini, waduk itu terpaksa dibuka karena diprakirakan akan jebol lantaran tidak mampu menahan volume air yang masuk ke Waduk Gajah Mungkur. Cepatnya terjadi limpasan pada Waduk Gajah Mungkur karena laju sedimentasi sudah melebihi ambang batas. Sementara itu, bagian hilir (Bojonegoro dan Lamongan) adalah daerah limpasan yang merupakan dataran rendah, sehingga solusi yang bisa ditawarkan adalah penanganan serius pada daerah bantaran sungai. Caranya, melalui rehabilitasi dan penguatan tanggul maupun penataan ruang daerah bantaran sungai. Langkah ini mesti diikuti pula dengan penghijauan. Pada saat bersamaan, debit air yang makin tinggi di musim hujan harus terus dipantau, sambil menunggu perbaikan DAS hulu. Ke depan, dalam jangka menengah (5-10 tahun), Indonesia diperkirakan menghadapi bencana banjir lebih dahsyat apabila pemerintah dan masyarakat lebih suka terus berwacana tapi tidak bekerja. Padahal, sejumlah komponen untuk mengantisipasi dan membuat langkah pencegahan sebenarnya sudah tersedia. Lapan, misalnya, sebagai institusi pemerintah, memiliki kemampuan dalam penyediaan, interpretasi, dan validasi data pengindraan jarak jauh resolusi tinggi, sedang, dan rendah. Semua data itu dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Banjir dahsyat yang sedang melanda Tanah Air mestinya bisa dijadikan momentum guna melakukan koordinasi dan kerja sama lembaga yang satu dengan lembaga lain untuk bersatu padu. Semoga!Nur Hidayat Deputi Pengindraan Jauh Lapan, nurhidayat@lapanrs.com Post Date : 10 Januari 2008 |