|
SORE itu seorang pria memunguti sesuatu dari tempat sampah. Dia pilih sampah yang terbuat dari plastik atau sulit terurai oleh alam, misalnya potongan selang dan kabel. Cipto Pratomo (51), si '' pemulung'' itu kemudian membawa barang-barang tersebut ke rumahnya di Jalan Muh Yamin Gang IV/14 Kelurahan Karangpucung, Kecamatan Purwokerto Selatan. Barang-barang tersebut disusun di atas papan dan dibentuk menjadi kolase (susunan benda yang membentuk sesuatu untuk hiasan dinding-Red) yang umumnya terlihat seperti topeng atau serangga. Guru seni rupa SMPN 5 Purwokerto yang juga Ketua Komite Seni Rupa pada Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) itu mengaku ide awalnya muncul tahun 1996. Mengubah Kala itu Purwokerto akan menghadapi penilaian Adipura. Untuk mengurangi sampah anorganik, tebersit dalam pikirannya mengubah benda yang dianggap tidak berguna itu menjadi sesuatu yang indah. ''Sesudah benda bekas terkumpul, saya tata di atas papan membentuk topeng, kepala, atau serangga. Setelah mucul wujud yang bagus, baru dilem atau dipaku, lalu disemprot dengan cat,'' tuturnya. Keisengannya ternyata berbuah menjadi karya seni yang laku dijual. Pada waktu itu dibeli orang seharga Rp 50.000. Sekarang bisa mencapai Rp 500.000. Jumlah karyanya sekitar 30 buah dan 20 di antaranya sudah dibeli orang untuk hiasan rumah, galeri seni, atau kafe. Kolase favoritnya berjudul ''Sirah Digawe Sikil, Sikil Digawe Sirah'' yang dibuat dari sepatu, kabel, dan papan cuci (penggilasan-Red). Sepatu yang biasa digunakan untuk membungkus kaki berubah fungsi menjadi benda berbentuk kepala dengan kabel sebagai rambutnya dan penggilasan sebagai alas ''kepala'' tersebut. Ada nilai filosofi yang terkandung di dalamnya. Ungkapan bahasa Jawa tersebut menggambarkan betapa keras perjuangan hidup manusia. Penggilasan menambah kesan makin berat penderitaan. ''Maksudnya, tak jarang manusia yang mengalami perjuangan hidup keras masih harus tergilas,'' ujarnya. (Aniek Hadi Puspitosari-27) Post Date : 05 Desember 2007 |