Cinta Sampah dan Lidah Mertua

Sumber:Majalah Gatra - 22-28 November 2007
Kategori:Sampah Jakarta
Peduli pada lingkungan mulai ditanam sejak usia anak dan remaja. Sampah dijadikan sarana mengolah kreativitas. Tergerak setelah ditontonkan film tentang bencana kemanusiaan karena kerusakan lingkungan.

Di suatu siang yang sejuk, tampak Michael sedang duduk di lantai sekolahnya yang bersih. Dengan santai, ia mengambil setumpuk sampah kotor yang ada di sebelahnya, kemudian memilah-milahnya. Ia memisahkan sampah kertas, karton bekas minuman, plastik, kaleng, dan tisu di keranjang yang berbeda-beda, dengan tangannya yang sudah dibalut oleh sarung tangan.

Aksi pilah sampah itu dilakukan setiap Sabtu oleh siswa-siswi SMP dan SMA Santa Ursula (Sanur), Bumi Serpong Damai, Tangerang, pada pukul 11.00 siang. Tiap kelas sudah mendapat jatah piket untuk memilah. Di hari itu, kebetulan Michael dapat giliran memilah sampah. Tidak jijik dan merasa kotor? ''Lah, yang bikin sampah kita, ya kita juga dong yang tanggung jawab,'' murid kelas X SMA Sanur itu menjawab enteng.

Jangan pula coba-coba untuk membawa minuman dengan botol air mineral dari plastik, karena merupakan barang terlarang di lingkungan Sanur. ''Botol itu kan tidak dibuat untuk diisi ulang karena tidak baik untuk kesehatan,'' kata Agustinus Suwandi, seorang pembimbing OSIS. Dengan demikian, karena hanya sekali pakai lalu dibuang, botol air mineral itu hanya menambah volume sampah.

Peduli pada sampah memang selalu digaungkan di dalam diri para murid Sanur. Tempat sampah di lingkungan Sanur yang luas nan adem itu sudah dibedakan menjadi limamacam: sampah organik, tisu, kaleng, kertas, dan plastik.

Para murid SMA bahkan punya program yang mereka sebut sebagai PAGI, singkatan dari ''pakai lagi''. Mulai kertas fotokopi hingga amplop surat semua tak ada yang ''selamat'' dari pemakaian dua kali bolak balik. Bahkan beberapa buku bersampul kertas pembungkus HVS yang berwarna biru dan merah itu.

Kalaupun sudah terpakai, kertas-kertas fotokopi itu tidak dibuang oleh mereka. Tumpukan kertas itu diblender menjadi bubur kertas untuk kemudian dibuat menjadi berbagai pernak-pernik imut seperti hiasan untuk ditempel di kulkas. Sampah bekas kemasan minuman yang berasal dari karton yang telah dipilah tadi, malah bisa dijadikan sebuah tas setelah dijahit sana-sini.

Gerakan PAGI ini sudah dicanangkan sejak tahun 2003. Menurut Abeth, guru bahasa Inggris yang aktif mengawal kegiatan para murid Sanur untuk kegiatan ini, PAGI mulai diaktifkan setahun kemudian. ''Pilah sampah adalah yang pertama, bahkan sebenarnya program ini dari TK-SMA,'' kata Abeth.

Lama-kelamaan, kreativitas para guru dan juga diikuti oleh para murid menjadi semakin tinggi. Contohnya, yang dilakukan oleh dua guru seni rupa Sanur, Agus Purwoko dan Krismianto. Mereka berkreasi menciptakan lukisan tempel dari kaleng-kaleng minuman bekas yang dipotong dan diulir. ''Awalnya karena bingung cari bahan untuk bikin karya, lalu iseng potong kaleng bekas,'' kata Agus.

Tak ketinggalan dengan Sanur adalah SMA Lazuardi. Para murid di sekolah yang terletak di kawasan Depok itu sudah tak asing lagi dengan istilah pemanasan global, perubahan iklim dan juga emisi karbon. Berbagai tindakan pencegahan dampak pemanasan global sudah mereka lakukan sehari-hari. ''Agitasi'' dari pimpinan sekolah mengenai dampak pemanasan global tak lagi menjadi kewajiban namun sudah menjadi gaya hidup dan budaya bagi hidup mereka terus-menerus dilakukan.

Semuanya berawal dari kegelisahan seorang Alwiyah Bagir. Direktur SMA Lazuardi ini merasa terganggu dengan berita-berita di media mengenai pemanasan global. Namun gangguan itu bukannya dicuekkin oleh perempuan ramah ini, melainkan membangkitkan tekadnya untuk berusaha menolong bumi yang sedang sakit ini.

''Akhirnya, di awal tahun ajaran 2006/2007 lalu, saya menegaskan kepada wali kelas untuk mulai sering membicarakan masalah ini kepada para murid,'' kata Alwiyah, yang menjadi direktur di sekolah ini sejak berdirinya, pada 2002. Berawal dari situlah, tiap hari Senin ketika digelar apel awal pekan, ia tak bosan-bosannya berkampanye tentang pemanasan global.

Ia meminta kesadaran para murid untuk mulai membuat suatu inisiatif karya yang berhubungan dengan pencegahan dampak pemanasan global. ''Pokoknya jangan sampai efek dari pemanasan global ini kita biarkan begitu saja,'' tekad lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran kelahiran 21 Januari 1958 itu.

Dalam pertemuan dengan para wali kelas yang diadakan setiap Senin selama 40 menit, kemudian dibicarakan berbagai hal yang berhubungan dengan pemanasan global. ''Ternyata anak-anak semangat membicarakan ini dengan wali murid mereka,'' katanya. Dari pembicaraan mingguan itu, kemudian didapatkan program-program jangka pendek maupun jangka panjang dimana murid-murid Lazuardi mengurangi efek dari pemanasan global ini. Selain murid-muridnya bergerak, Alwiyah sendiri juga terus mengontrol dari kelas ke kelas perkembangan kegiatan ini.

Pada sebuah stadium generale yang biasanya diisi dengan pembelajaran life-skill, anak-anak kelas III menyajikan klipingan berita-berita di media mengenai efek dari pemanasan global. Melihat kejadian yang terjadi akibat pemanasan global itu sangat dekat dengan kehidupan mereka, pada minggu pertama kampanye itu saja sudah cukup untuk menggugah pikiran para murid.

Lebih-lebih ketika pada minggu kedua stadium generale, diputar film The Day After Tomorrow, yang tema dasarnya tak jauh dari pemanasan global. ''Ternyata anak-anak jadi ketakutan dengan efek pemanasan global sesudah melihat film itu,'' kata Alwiyah. Untungnya, rasa takut itu mampu ditransformasikan pada hal-hal yang positif.

Program 3R (reduce, re-use, recycle) mulai digalakkan oleh para murid. Mereka mulai hemat dengan penggunaan air dan juga listrik. ''Mereka kini juga sudah terbiasa dengan memilah sampah organik dan anorganik,'' ujar Alwiyah. Di tiap kelas kini sudah terdapat dua tempat sampah mereka yang sederhana, terbuat dari kardus bekas, untuk membedakan jenis sampah.

Para murid itu kini mulai memperbanyak tanaman lidah mertua, yang diketahui bisa menyerap lumayan banyak karbon. ''Dalam pelajaran biologi mereka aktif untuk mencari tahu manfaat dan belajar sama guru biologinya,'' kata Alwiyah. Para murid kelas III itu kemudian mendapatkan penghargaan dari Alwiyah karena dianggap kreatif untuk menaruh beberapa pot lidah mertua di kelasnya.

Tak ketinggalan dengan muridnya, para karyawan dan guru pun ketika berkumpul melakukan doa pagi pun menyisipkan kampanye mengenai lingkungan satu per satu sesuai dengan latar belakangnya. ''Jadi, misalnya guru agama, ia mencomot sebuah ayat yang menyerukan perlunya memelihara bumi dan segala isinya ini,'' katanya.

Baik Alwiyah, Abeth, Agus, maupun Michael sadar bahwa pemeliharaan lingkungan hidup demi untuk mencegah dampak pemanasan global yang mengganas kembali kepada kesadaran diri sendiri. Tak perlu muluk-muluk untuk menyelamatkan dunia dengan agenda besar; cukup tahu, sadar dan melakukan hal sederhana seperti mulai memilah sampah, mendaur ulang dan menghemat energi.Bernadetta Febriana.



Post Date : 22 November 2007