|
Jakarta, Kompas - Banjir melanda sejumlah wilayah di Jakarta, Minggu malam hingga Senin (19/1) pagi, akibat meluapnya Kali Ciliwung. Di Kelurahan Kampung Melayu, banjir melanda 33 RT di enam RW, yaitu RW 1-5 dan RW 8 yang dihuni 1.843 keluarga. Permukaan air tertinggi mencapai 150 sentimeter dan terendah 40 sentimeter. Di Kota Depok, seorang bocah berumur delapan tahun, Maulana Ali Hamzah, tewas karena hanyut di Kali Grogol. Meski membanjiri 150 rumah tempat tinggal ribuan warga di Kampung Melayu, banjir "kiriman" tersebut belum dapat dikatakan parah dan warga pun menerima banjir itu sebagai hal yang biasa. Selain di Kampung Melayu, banjir melanda beberapa wilayah di Kelurahan Bidara Cina dan Gang Arus, Kecamatan Cawang, Jakarta Timur, yang juga terletak di tepi Kali Ciliwung. Ketinggian air di kedua daerah itu mencapai 40 sentimeter. Banjir juga melanda wilayah Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, terutama yang berada di bantaran kali. Namun, sejak Senin siang, air sungai sudah surut dan normal kembali. Di Kampung Melayu, pada Senin pagi sejumlah warga masih tampak membersihkan lantai rumah yang kemasukan air. Barang-barang elektronik dan barang berharga lainnya terlihat masih diletakkan di atas lemari atau ditaruh di lantai atas rumah warga. "Meja saya ini sampai saya pasang rantai. Kalau tidak, nanti hanyut dibawa arus sungai," kata Dahlan, warga RT 10 RW 2 Kampung Pulo, Kampung Melayu, yang terletak persis di samping kali. Karena air sudah surut, rantai pun dilepas. Menurut Tarkilah, warga lain, air masuk rumah sejak Minggu dini hari dan belum surut hingga subuh. Air berangsur surut menjelang siang dan hanya sampai di depan pintu. "Air masuk sampai sebetis," katanya. Lurah Kampung Melayu Lutfi Kamal mengatakan, daerah yang paling parah terendam air adalah di RT 3,4, dan 5 RW 3. "Daerah itulah yang terendah di Kampung Melayu. Daerah itu bukan bantaran sungai lagi, tapi sudah sungai. Warga juga sudah sadar kalau mereka pasti kebanjiran. Makanya, mereka pasrah saja tinggal di sana." Kampung Melayu tergolong daerah paling rawan banjir di Jakarta Timur. Saat banjir besar tahun 2002, misalnya, ketinggian air mencapai enam meter. Berdasarkan data di posko banjir Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (PIPWSCC), muka air di Pintu Air Katulampa tertinggi terjadi pada hari Minggu pukul 15.15 yang mencapai 1,2 meter, padahal normalnya di bawah satu meter. Di pintu air Ratujaya, muka air tertinggi pada pukul 18.30, yaitu 3,1 meter (normalnya 1,5 meter). Di pintu air Depok, muka air tertinggi pada pukul 19.00, yaitu 2,4 meter. Di pintu air Sugutamu, muka air tertinggi pada pukul 21.00 mencapai 3,4 meter (normalnya kurang dari dua meter). Di pintu air MT Haryono, muka air tertinggi pada Senin pukul 03.45 yang mencapai 4,09 meter (normalnya 3,5 meter). Muka air tertinggi di pintu air Manggarai terjadi pukul 7.45 yang mencapai 7,56 meter (normalnya di bawah 7 meter). Namun, pukul 05.00, muka air di Manggarai sudah mencapai 7,50 meter, dan luapan air dirasakan warga pelan-pelan mulai pukul 01.00. "Minggu hingga malam hari, di Bojong, Bogor, dan sekitarnya memang hujan lebat dalam tempo lama," kata Humas PIPWSCC Sri Mustokoweni. Minggu sekitar pukul 16.00, Maulana Ali Hamzah (8), siswa kelas 3 SDN Pondok Labu, tercebur ke selokan di dekat rumahnya, Jalan Delima Blok A, Perumahan Megapolitan, Cinere, Depok. Selokan yang saat itu sedang banjir dan berarus deras, menghanyutkan Maulana hingga Kali Grogol. Diduga, Maulana jatuh karena tergelincir saat bermain bersama adiknya, Aditya Hambali, dan dua teman lainnya di sebuah lapangan voli. Sore itu hujan turun lebat di Depok. Begitu diketahui hanyut, warga segera mencari dengan menyusuri sungai dengan dibantu Tim Wanadri dan Forum Penanggulangan Banjir Condet. Maulana ditemukan tewas pada Senin sekitar pukul 12.00, tersangkut timbunan sampah di sungai, sekitar tiga kilometer dari tempatnya tergelincir. Senin siang, Maulana langsung dimakamkan. (IVV/ADP) Post Date : 20 Januari 2004 |