BANDUNG, KOMPAS - Duka yang menyelimuti warga Kampung Cieunteung, Kelurahan Baleendah, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, berlanjut. Banjir setinggi 2 meter merendam rumah warga, Selasa (19/10) malam hingga Rabu. Praktis sepanjang tahun ini warga tak bisa menghuni rumah mereka dan bertahan di pengungsian.
Hingga Rabu sore, genangan air bah masih merendam semua rumah di kampung tersebut. Lebih dari 300 keluarga mengungsi di dua titik utama, yakni Kantor Kelurahan Baleendah serta sekretariat salah satu partai politik yang berjarak 1,5 kilometer dari lokasi banjir.
Hanya puluhan orang yang memilih bertahan di rumah mereka karena memiliki loteng. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga memanfaatkan perahu yang dioperasikan selama banjir melanda.
Amien (45), warga RT 1 RW 20, menuturkan, air mulai meninggi sekitar pukul 19.00. Saat itu wilayah Baleendah dan Dayeuhkolot diguyur hujan deras yang memicu Sungai Citarum meluap.
"Saat itu ketinggian air tidak sampai 1 meter, hanya sekitar 30 sentimeter," kata Amien yang berprofesi sebagai tukang perahu tersebut.
Namun, hujan deras kembali mengguyur kawasan tersebut selama lebih dari tiga jam sejak Rabu sekitar pukul 01.00. Pukul 06.00, kampung itu sudah terendam lebih dari 2 meter dan air meluap hingga ke jalan raya.
Evakuasi warga yang masih di dalam rumah relatif mudah dilakukan karena sebagian besar warga tidak lagi menghuni kampung tersebut sejak setengah tahun lalu. Sepanjang tahun ini kampung itu praktis kosong lantaran penghuninya mengontrak rumah atau mengungsi di tempat saudara.
Sisa lumpur yang memenuhi rumah warga pada banjir besar akhir tahun lalu belum sepenuhnya bersih saat hujan deras kembali turun dalam dua bulan terakhir. "Warga yang susah membersihkan rumah dari lumpur akhirnya memilih mengontrak rumah di daerah lain," ujar Mamat (47), warga.
Tak layak huni
Saat kering, rumah warga di kampung itu tidak layak huni karena kayu dan temboknya sudah keropos akibat terlalu sering direndam air bah. Jaja (43), Ketua RW 20, mengeluhkan kondisi itu. Ia merasa warga tidak diperhatikan pemerintah setempat. "Warga seperti dibiarkan terus terendam, entah karena tidak ada kepedulian atau supaya kami mau pergi dari tempat ini," kata Jaja lesu.
Ia mengatakan, sekalipun banyak warga mengontrak di tempat lain, mereka tetap menolak direlokasi dari Cieunteung. Wacana relokasi itu dinilai seperti jalan pintas yang ingin diambil pemerintah setempat dan mengabaikan risiko sosial budaya yang dihadapi warga.
"Jika pindah, kami harus mengeluarkan lebih banyak biaya transportasi menuju tempat kerja dan sekolah. Di tempat baru, kami juga belum tentu bisa cocok karena harus mencari penghidupan baru yang dekat dengan daerah di sana," kata Jaja.
Pengerukan Citarum adalah solusi jangka pendek yang diharapkan warga. Terkait dengan upaya ini, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan telah memberikan sinyal positif.
"Mudah-mudahan rencana anggaran Rp 120 miliar diloloskan Badan Anggaran DPR sehingga normalisasi Citarum bisa direalisasikan pada tahun 2011," kata Heryawan saat ditemui beberapa waktu lalu. (REK)
Post Date : 21 Oktober 2010
|