|
MENUSUKNYA bau sampah, tak membuat lima orang ini bergeming. Jemari yang terbungkus sarung tangan kain bolong-bolong, tak henti-hentinya memilih dan memilah tumpukan sampah dari karung plastik mereka. Tak ada kata ataupun bait syair lagu mengiringi pekerjaan itu. Hanya dengung suara lalat menemani kebisuan mereka. Sesekali, bayi berumur satu tahun yang tergantung di dalam gubuk itu bergerak-gerak, kemudian menangis. Seorang wanita muda berhenti bekerja dan datang menghampiri bayi tersebut. Dengan tatapan tulus, ia mengeluarkan bayi itu dari gantungan kain, memangkunya, menyusuinya, dan meninabobokan kembali makhluk kecil itu dengan syair Sunda lembut nan halus. Mereka berada pada sebuah gubuk berukuran 2x1 meter yang berdiri miring, karena tiangnya hanya terbuat dari ranting-ranting rapuh. Beberapa lapisan plastik warna-warni melindungi gubuk itu dari teriknya sinar matahari. Mereka pun terlindung dari terpaan angin dan debu karena bagian dinding gubuk itu dilindungi berbagai macam bahan yang diambilnya dari timbunan sampah. Sepanjang siang, kita selalu tinggal di gubuk ini sembari memisahkan jenis-jenis sampah untuk dijual kepada bandar. Tapi, malam hari, kami biasanya pulang ke rumah di Kampung Margaluyu Jelekong, kata Cicin Wartini (24), wanita muda yang tengah menyusui itu. Pekerjaannya sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jelekong membuat dunia tak memberikan pilihan lain baginya dan bayi pertamanya itu. Empat orang rekan Cicin bukan orang lain baginya. Mereka adalah, suaminya, kedua orang mertuanya, serta nenek dari pihak suaminya. Semuanya melakukan hal yang sama untuk mencari makan dan meneruskan hidup dengan berprofesi sebagai pemulung. Namun, pekerjaan ini tak membuat Cicin menjadi minder. Ia baru beberapa tahun saja menjalani profesi ini, tepatnya setelah ia menikahi Asep Suryana (25), suaminya. Kedua orang tua suaminya, Didi (48) dan Ida (40), telah menekuni profesi itu sejak TPA Jelekong dibangun, sebelas tahun lalu. Pekerjaan makin sulit didapat sekarang. Tak ada pilihan lain untuk menghidupi keluarga, selain dengan memunguti sampah di sekitar TPA Jelekong ini. Pekerjaan ini jauh lebih berharga daripada harus mencuri, ucap Cicin yang hanya lulusan SD itu. Kedua orang mertuanya hanya tersenyum mendengar ucapan Cicin. Sebelum menjadi pemulung, dua orang mertuanya biasa membantu orang menggarap sawahnya. Tak jarang pula, ayah mertuanya menjadi kuli bangunan. Akan tetapi, karena bertambahnya usia dan berkurangnya kekuatan fisik, akhirnya mereka memutuskan untuk memunguti sampah di TPA Jelekong. Untungnya, letak TPA ini tak terlalu jauh dari rumah mereka. Nenek dari pihak suaminya, Ma Engkat (60), bahkan rela memberikan bantuan tenaga dari tangan-tangan rentanya untuk menambah penghasilan keluarga. Segala jenis sampah mereka kumpulkan untuk dijual. Mulai dari plastik, karung, beling, kaleng, botol air mineral, serta barang-barang lain yang laku dijual. Harga termahal yang dapat dibayar oleh bandar pengumpul sampah itu adalah sampah alumunium. Sayangnya, sampah alumunium sangat jarang ditemukan di tengah gunungan sampah itu. Penghasilan kami tak pernah sama tiap bulannya. Tergantung dari berapa banyak sampah yang dapat dikumpulkan. Tapi, dari lima orang yang bekerja, biasanya kita dapat Rp 100 ribu per minggunya, ucapnya. Tentu saja Rp 100 ribu untuk berlima itu jauh dari kata cukup. Adik-adik suaminya telah lama drop out dari sekolah SD-nya karena kekurangan biaya. Terdapat sekira 400 Cicin-Cicin lain yang menggantungkan hidup dari TPA Jelekong ini. Anehnya, hanya sekira 30 persen saja dari jumlah seluruh pemulung itu yang bertempat tinggal di sekitar TPA. Sisanya, datang dari berbagai tempat termasuk pemulung dari sekitar Leuwigajah. Bagi sebagian orang, pekerjaan memulung merupakan pilihan jalan hidup mereka. Makanya, setelah TPA Leuwigajah ditutup, sejumlah pemulung yang biasa menggarap sampah di sana, datang ke sini. Tak ada masalah, kita sama-sama cari makan, lanjutnya. Menurutnya, para pemulung borongan itu datang dari Kota Bandung, Cimahi, Padalarang, Ciparay, hingga Majalaya. Mereka sengaja mendirikan gubuk di sekitar TPA Jelekong. Sebagian lainnya, mengontrak rumah di sekitar kampung terdekat. Untungnya, jarang sekali terjadi konflik antara warga pribumi dengan pemulung pendatang ini. Saat disinggung apa yang akan dikerjakan Cicin sekeluarga jika TPA Jelekong ditutup nanti, Cicin hanya termenung. Mertuanya, Didi, menyela, Tak tahulah. Paling kita akan mencari pekerjaan lain. Kita tak akan selamanya menjadi pemulung. Kalau pemulung borongan, biasanya mereka akan ikut pindah ke TPA baru yang akan ditentukan nanti, ucap Didi. Melalui mulut Cicin, keluarga ini berharap, agar nasib orang kecil seperti mereka mendapatkan perhatian dari aparat terkait. Jika TPA ini benar-benar ditutup nanti, diharapkan sebuah solusi tetap dipikirkan untuk meneruskan jalan hidup mereka. (Deni Yudiawan/PR) Post Date : 22 November 2005 |