|
Banjir di Jakarta, menurut ahli tata kota Marco Kusumawijaya, merupakan gabungan kondisi alam dan kesalahan pengelolaan manusia. Sebelum ada manusia yang menyesaki Jakarta, daerah ini sudah langganan banjir. Topografi Jakarta rendah dan dikepung oleh sungai-sungai yang mengalir dari kawasan selatan yang lebih tinggi. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta menyebutkan, sekitar 40 persen luas Jakarta merupakan dataran yang lebih rendah dari elevasi pasang laut. Daerah itu rawan genangan air karena berada pada flood plain atau dataran banjir luapan air Kali Angke, Pesanggrahan, Kali Sekretaris, Kali Grogol, Kali Krukut, Ciliwung, Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Kali Cakung. "Kita memang kebetulan tinggal di daerah yang rawan banjir. Sekarang, bagaimana kita mengatasi banjir ini dan selalu mempertimbangkan kondisi topografi rentan banjir ini dalam setiap pembangunan," kata Marco. Akan tetapi, jangankan mengatasi banjir, pertumbuhan Kota Jakarta justru mendorong terjadinya banjir yang makin parah. "Kita cenderung hanya membangun dengan paradigma pertumbuhan. Namun, nilai tambah yang dihasilkan tidak digunakan untuk reinvestasi guna mengatasi dampaknya maupun meningkatkan daya dukung lingkungan," kata Marco. Selama ini, menurut Marco, tidak ada yang menyambungkan antara pembangunan ekonomi dan reinvestasi untuk perbaikan lingkungan. Seharusnya ada anggaran yang ditabung untuk tujuan tertentu. "Di Belanda dan Belgia, itu ada pajak perbaikan lingkungan. Tak peduli warga negara apa pun. Kalau Anda tinggal di negara itu harus membayar karena Anda dinilai membebani lingkungan. Pajak itu hanya boleh digunakan untuk kepentingan perbaikan lingkungan," katanya. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Pitoyo Subandrio mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya menjelang musim hujan akhir tahun ini. Selain perkuatan kali, juga telah dilakukan revitalisasi situ, rehabilitasi waduk, penghijauan lahan kritis, dan pembuatan dam parit di wilayah hulu. Namun, apakah ini akan mengatasi banjir Jakarta? Pitoyo mengatakan, itu tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas, tanpa diikuti kesadaran masyarakat dan tanpa penegakan hukum serta cetak biru yang telah disusun. Cetak biru perencanaan pengendalian banjir yang terpadu di Jabodetabek sebenarnya sudah ada sejak tahun 1997, tetapi hingga kini belum terealisasi. Bahkan, rencana pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) sejak tahun 1973 pun belum juga terealisasi. Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) RI tentang Penanganan Masalah Banjir di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur juga ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam rancangan inpres itu, untuk upaya struktural penanganan banjir disediakan anggaran Rp 9,5 triliun. Kegagalan birokrasi Restu Gunawan, peneliti banjir dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala menyebutkan, proyek-proyek pengendalian banjir Jakarta selalu gagal dari zaman ke zaman. Sejak tahun 1913, Belanda mengalokasikan dana 2 juta gulden untuk mengatasi banjir. Van Breen menjadi insinyur yang mendesain upaya itu. Salah satu produknya adalah pembuatan banjir kanal. Namun, Banjir Kanal Barat yang dibuat Van Breen tahun 1920-an belum tuntas pembangunannya hingga Belanda pergi. Sedangkan Kanal Lingkar Kota dan sistem polder di sejumlah area genangan banjir sama sekali belum terbangun. Pascabanjir tahun 1965, Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun enam waduk di sekitar Jakarta. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota. Namun, waduk itu sebagian sudah hilang dan ada yang belum terbangun hingga kini. Banjir pun terus melanda Jakarta. Tahun 1973 direncanakan proyek Kanal Barat dituntaskan. "Anggaran sudah ada, bantuan dari Belanda. Namun, proyek ini ternyata batal dikerjakan," kata Restu. Tahun 1984 pemerintah merencanakan pembangunan waduk Depok. Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan desain detailnya sudah selesai, tetapi juga tak jadi dibangun. Tahun 2002 banjir besar kembali melanda Jakarta. Namun, menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Slamet Daroyni, sampai hari ini Pemprov DKI belum mengeluarkan hasil evaluasi penanganan banjir Februari 2002. Ini menyulitkan semua pihak untuk melakukan upaya-upaya jangka pendek, menengah, dan panjang dalam mengambil tindakan. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah itu tidak berkelanjutan dan sangat reaksioner, baik dalam melakukan penanganan darurat maupun upaya perbaikan infrastruktur. "Jadi jauh dari harapan kita. Dan kalau memang benar prakiraan BMG bahwa curah hujan itu sama dengan Februari lalu, saya pikir akhir 2007 Jakarta akan banjir kembali," kata Slamet. Kegagalan proyek-proyek banjir yang dibuat pemerintah sejak dulu hingga sekarang, menurut Marco, disebabkan perencanaannya terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan birokrasi yang ada. Ke depan, kemampuan birokrasi ini seharusnya menjadi parameter perencanaan proyek. "Jika memang birokrasi tak mampu, jangan merencanakan yang muluk-muluk. Buatlah rencana yang mungkin dilakukan, tetapi konsisten," kata Marco. Akhirnya, banjir benar-benar menjadi ujian bagi birokrasi kita. (Aik/Rie/irn) Post Date : 11 November 2007 |