PEMBERDAYAAN EKONOMI DAN WARGA. Merasa terpanggil untuk meningkatkan derajat dan kehidupan warga di lingkungannya, Eva Langsa mengajak para tetangganya membuat barang kerajinan dari bahan daur ulang. Selain dapat menambah penghasilan, usaha ini juga dapat mengurangi jumlah sampah plastik di lingkungan tempat tinggal mereka.
Niat untuk meningkatkan derajat kaum wanita membuat Eva Langsa mendirikan KUB Pucuk Rebung yang membuat barang kerajinan dari bahan daur ulang. Seperti namanya "Pucuk Rebung", Eva pun berharap kelompok usahanya ini bisa tumbuh dan berkembang.
Eva Langsa, istri seorang anggota Polri yang hidup dan tinggal bersama masyarakat golongan menengah ke bawah tergerak untuk meningkatkan kesejahteraan warga, khususnya para ibu rumah tangga. Sampah-sampah plastik yang banyak terdapat di lingkungannya makin membuat Eva terpanggil untuk memanfaatkan sekaligus mewujudkan tekadnya untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Berkat kegigihan, tekad, dan pengetahuan yang diperolehnya dari berbagai sumber, Eva akhirnya berhasil memadukan keduanya: meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus melakukan pelestarian lingkungan.
Merangkul Warga Masyarakat
“Awalnya saya sebagai fasilitator Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) merasa terpanggil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya kaum wanita, karena rata-rata di sini warganya kelas menengah ke bawah,” kata Eva prihatin. Bahkan banyak di antaranya yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Melihat ini, keinginan Eva untuk mengangkat harkat dan derajat “kaumnya” pun semakin menggebu. “Kalau jadi PRT kan sering disepelekan suami dan posisinya sangat rendah di masyarakat,” tegas Eva.
Diawali niat yang baik, Eva berusaha mencari jenis usaha yang sekiranya dapat dikerjakan para ibu rumah tangga— menambah penghasilan keluarga – sekaligus cukup mulia di masyarakat. Di saat itu, secara kebetulan pihak Pemda Riau dalam hal ini Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) memberikan pelatihan pembuatan produk-produk dari bahan daur ulang. Dari situ Eva mulai serius belajar dan menekuni bidang ini hingga mahir. “Alangkah baiknya kalau kita bisa kumpulkan sampah-sampah dan kantong plastik bekas itu menjadi barang-barang yang berguna,” pikir Eva kala itu.
Eva pun mengajak 9 orang tetangganya untuk mendirikan Kelompok Usaha Bersama yang diberi nama “Pucuk Rebung”. Di rumah salah satu anggota yang dijadikan pusat kegiatan, dengan sabar serta tekun Eva mulai melatih dan menularkan keterampilan yang dimilikinya kepada anggota lainnya. Dengan modal awal Rp 100.000 per anggota, mereka mulai memproduksi berbagai barang kerajinan dari kreasi daur ulang, seperti tempat tisu, tas, tempat telur, dan bahkan payung. Untuk bahan baku, Eva tak kehabisan akal. Ia mengoordinir para ibu di wilayah tempat tinggalnya untuk menjadi pemasok. Jika sebelumnya para ibu rumah tangga ini membuang begitu saja bungkus plastik pewangi pakaian, sabun cuci, maupun pembersih lantai, kini hal itu tidak dilakukan lagi. Plastik-plastik mereka kumpulkan dan dijual ke KUB Pucuk Rebung. “Yang sudah bersih kita hargai dua ribu rupiah, dan yang masih kotor seribu,” terang Eva yang kemudian ditunjuk sebagai ketuanya.
Dengan cara ini, selain berdampak ekonomis, lingkungan sekitar tempat tinggal pun menjadi lebih bersih. “Berarti kita juga turut melestarikan lingkungan, karena dapat mendaur ulang limbah plastik,” tegas Eva. Seperti kita tahu, plastik adalah jenis sampah yang sulit diurai oleh tanah. Butuh ratusan tahun bagi tanah untuk mengurainya. Oleh karena itu, risiko sampah plastik dibuang secara sembarangan lebih besar dibanding sampah organik yang relatif mudah terurai. Tetapi jika sampah-sampah plastik ini memiliki nilai ekonomis, tentunya warga akan mau memilah dan mengumpulkannya hingga tidak tercampur bersama sampah organik lainnya. “Hasilnya juga bisa untuk uang jajan anak,” kata Eva seraya tersenyum.
Memberdayakan Ekonomi Warga
Upaya Eva ini mendapat dukungan pihak kelurahan dan kecamatan setempat. Seperti yang diungkapkan Camat Payung Sekaki, Pekanbaru, H. Edy Rizal, “Program ini mendukung Pemda dalam hal pengelolaan sampah, karena sampah-sampah yang sulit terurai ini dimanfaatkan kembali menjadi barang yang berguna.” Ia pun menyarankan agar setiap warga, khususnya mereka yang mampu, mendukung pemakaian produk-produk ini. “Saya juga anjurkan agar kantor-kantor memanfaatkannya juga,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Lurah Tampan, Zulhelmi Arifin, “Ini bentuk kepedulian warga terhadap lingkungan. Apalagi usaha ini bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat.” Kelompok Usaha Pucuk Rebung memang berada di wilayah Kelurahan Tampan, tepatnya di Jalan Sekolah No. 10/228, Kelurahan Tampan, Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru. Di Kelurahan Tampan sendiri ada 6.375 KK atau 19.997 jiwa. Mata pencaharian warga umumnya adalah nelayan, buruh pabrik, dan pekerja non-formal (PRT). “Ini sangat membantu perekonomian warga,” ungkap Zulhelmi yang berniat memasarkan produk-produk ramah lingkungan ini ke hotel-hotel di wilayah Pekanbaru.
Kreatif, Tekun, dan Inovatif
Membuat barang kerajinan dari bahan daur ulang adalah pekerjaan yang menuntut kreativitas, ketekunan, kesabaran, dan juga inovasi. Bersama dengan rekan-rekannya di KUB Pucuk Rebung, Eva rajin menonton televisi ataupun membaca koran dan majalah untuk mendapatkan ide pembuatan produk-produk yang baru. “Kalau model atau barangnya itu-itu aja, pembeli juga akan bosan,” katanya. Untuk itu, Eva juga membuat barang-barang yang umum dipakai masyarakat, seperti tempat handphone. “Pokoknya harus jeli lihat yang lagi tren di masyarakat,” ucapnya. Unsur budaya setempat juga ia masukkan dalam produk-produknya dengan memanfaatkan kain khas kerajinan Melayu.
Beranggotakan 10 orang yang bekerja 4 hari dalam seminggu, “Pucuk Rebung” dapat menghasilkan rata-rata 7 produk per hari dengan tingkat kesulitan pembuatan produk yang berbeda-beda. Harganya pun bervariasi, tergantung besar-kecil dan tingkat kesulitan pembuatannya. Rata-rata harga yang ditawarkan berkisar 10 – 50 ribu rupiah. Menurut Eva, saat ini yang menjadi “primadona” adalah tempat tisu mobil, “Banyak ibu-ibu yang suka karena nggak cepat kotor dan bisa dilap atau bersihkan.” Agar produknya makin dikenal, Eva juga rajin mengikuti pameran-pameran dan bazar. “Kalau sudah banyak yang tahu dan kenal, biasanya mereka suka pesan dan kadang dalam jumlah besar,” terang Eva. Terkadang ia juga menerima pesanan dari toko-toko. “Selain itu setiap anggota diwajibkan untuk memasarkan produk ini,” terang Eva. Untuk pengembangkan usaha, para anggota sepakat untuk tidak membagi habis setiap keuntungan yang didapat, tetapi mereka sisihkan untuk modal bahan baku, simpanan wajib 10%, dan sisanya baru dibagi rata. Dalam sekali penjualan, jika sedang ramai mereka bisa mendapatkan omzet Rp 200.000, namun ini tidak setiap hari, hanya pada saat–saat tertentu saja. Meski demikian, hal ini cukup membantu perekonomian para anggota. Eva berharap apa yang dirintisnya ini bisa berkembang luas, “Bisa sukses, dan menyebar ke yang lain, memperluas jaringan ke kelurahan-kelurahan lainnya.”
Eva yang pernah mengikuti pelatihan pembuatan kerupuk di Sidoarjo Jawa Timur mengaku kagum dengan pola usaha industri rumah tangga di sana. “Di sana ibu-ibunya pada bikin kerupuk semua, jadi istri juga punya penghasilan tambahan untuk keluarga.” Selain terinspirasi dari sisi penghasilan, Eva juga “iri” dengan kebersamaan dan keakraban yang terjalin di antara sesama warga di sana. “Karena setiap rumah tangga punya usaha dan mengajak tetangganya, maka kebersamaan dan keakraban sangat terasa, khususnya di kalangan ibu-ibu,” kata Eva, “ini beda kalau mereka kerja jadi pembantu, paling interaksinya dengan majikan. Kalau ini kan kompak, senang dan susah (ditanggulangi) bersama.” Hadi Pranoto
Post Date : 12 Juli 2010
|