|
SETIAP tahun penyakit muntaber agaknya menjadi kejadian tak terelakkan di Indonesia. Juni ini wabah muntaber menyerang Kabupaten Tangerang. Puluhan nyawa melayang dan ratusan penderita dirawat di puskesmas dan RS. Menko Kesra Alwi Shihab pun menyatakan wabah itu sebagai kejadian luar biasa (KLB). Dan Pemerintah Kabupaten Tangerang menetapkan wilayah Pantai Utara Tangerang endemik muntaber. Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P3L) Departemen Kesehatan I Nyoman Kandun, wabah muntaber sangat erat kaitannya dengan belum membudayanya gaya hidup sehat dan bersih di masyarakat. ''Hal itulah yang menyebabkan kejadian wabah muntaber selalu berulang,'' kata Nyoman. Menurut dia, faktor 5F terkait erat dengan munculnya muntaber. Yang dimaksud Nyoman dengan 5F yakni feses (tinja manusia mengandung kuman penyebab muntaber), finger (jari-jari tangan tidak dicuci bersih saat makan), flies (lalat penyebar kuman dari feses ke banyak tempat, fluid (air tercemar kuman), dan field (tanah/lingkungan yang tercemar kuman). Buang air besar (BAB) di sungai, lanjut Nyoman, bisa menyebarkan kuman penyebab muntaber. Apalagi jika sungai digunakan untuk mencuci bahan serta alat makan, dengan mudah kuman masuk ke sistem pencernaan. Saat banjir, air sungai bisa mencemari sumur yang tidak memiliki bibir sumur atau dasarnya tidak dilapisi semen. ''Semua pengetahuan tersebut harus disebarluaskan dan dimengerti masyarakat luas, agar mereka sadar bisa melakukan tindakan pencegahan.'' Selain kesadaran, lanjutnya, diperlukan juga ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung upaya pencegahan tersebut. Misalnya, jamban dan sumur sesuai standar kesehatan. Dalam hal ini, menurut Nyoman, Depkes sudah melakukan usaha-usaha semaksimal mungkin, sesuai dengan kapasitasnya yakni membuat panduan (guidelines) standar hidup bersih dan sehat. Namun untuk penerapan di lapangan, Depkes tidak bisa bekerja sendirian. Pasalnya, usaha pencegahan tersebut berkaitan dengan usaha mengubah gaya hidup suatu masyarakat. ''Orang bilang, memindahkan gunung itu sulit, namun mengubah perilaku hidup orang akan lebih sulit lagi,'' ungkap Nyoman. Untuk itu, lanjutnya, diperlukan kerja sama lintas sektoral dari seluruh pihak dan di seluruh tingkatan, mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kelurahan, hingga RT/RW. ''Dalam hal ini, boleh dikatakan, semua departemen harus terlibat sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Jadi harus dimengerti, masalah ini tanggung jawab bersama semua pihak. Jangan setiap kali ada orang sakit semua menyalahkan Depkes,'' ujar Nyoman. Nyoman mencontohkan perlunya keterlibatan Departemen Pendidikan bisa meningkatkan pengetahuan tentang budaya hidup bersih dan sehat melalui sekolah, Departemen Agama dengan upaya implementasi hadis 'kebersihan sebagian dari iman', Dinas Pekerjaan Umum bisa mengadakan proyek pembangunan jamban dan sumur sehat, Departemen Dalam Negeri bisa mengusahakan kegiatan swadaya masyarakat, seperti PKK dan posyandu bisa berjalan. ''Kami dari Depkes menyiapkan guidelines standar hidup bersih dan sehat, membangun proyek percontohan yang dimanfaatkan dan dikembangkan masyarakat,'' imbuh Nyoman. Banyak minum Sementara itu, spesialis gizi dr Ekky M Rahardja mengatakan ada beberapa jenis makanan yang tidak boleh dikonsumsi penderita muntaber sehubungan dengan kondisi dinding ususnya (epitel) yang mengalami kerusakan. Makanan tersebut, antara lain yang bertekstur kasar (keras), berbumbu kuat (misalnya pedas), serta berserat tinggi. ''Makanan bertekstur kasar harus dihindari karena bisa memperparah kerusakan dinding usus penderita muntaber. Sedangkan makanan berbumbu kuat bisa merangsang gerak peristaltik usus yang selanjutnya merangsang penderita untuk BAB.'' Demikian juga makanan berserat tinggi, kata Ekky, bisa merangsang refleks defekasi (perasaan ingin BAB). Pemberian cairan sebanyak-banyaknya harus dilakukan untuk mengganti cairan tubuh dan elektrolit yang hilang bersamaan dengan keluarnya cairan saat penderita muntaber. Jika masih memungkinkan, katanya, cairan diberikan melalui mulut (minuman). ''Minuman apa saja, terutama oralit atau larutan gula garam untuk menormalkan keseimbangan elektrolitnya,'' ungkap staf pengajar bagian Gizi Medik Fakultas Kedokteran, Universitas Tarumanagara, Jakarta. Jika pemberian cairan melalui mulut tidak memungkinkan, lanjut Ekky, cairan diberikan melalui infus, biasanya berupa dextrose dan NaCl. Jika kondisi kritis sudah terlampaui, barulah pemberian makanan bisa dilakukan secara bertahap mulai dari makanan cair, lunak dan lumat. Dosis pemberian disesuaikan dengan kebutuhan gizi dan toleransi penderita. (Nik/H-1) Post Date : 29 Juni 2005 |