Banjir masih merupakan masalah utama yang belum bisa diatasi di Ibukota. Hujan yang turun dalam tempo singkat bisa menimbulkan genangan air di beberapa tempat.
Genangan atau banjir yang terjadi bukan semata-mata karena curah hujan yang tinggi. Dari sisi topografi, sejarah membuktikan terjadi penurunan muka tanah (subsidensi) di beberapa wilayah Jakarta. Praktis, penurunan ini berkontribusi pada peningkatan tinggi genangan air saat banjir.
Menurut Wakil Ketua Kelompok Kerja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Armi Susandi, laju penurunan muka tanah itu terkait dengan populasi, laju peningkatan pembangunan gedung-gedung yang membuat beban daratan Jakarta semakin berat. Berdasarkan data yang dikeluarkan Dinas Pertambangan DKI Jakarta pada tahun 2007, permukaan air tanah di kawasan bisnis di Ibukota turun hingga 5 meter per tahun. Seperti kawasan Kuningan, Jakarta Selatan sebagai akibat dari penyedotan air tanah secara berlebihan oleh pengelola gedung-gedung perkantoran dan bisnis. Hal ini bisa berdampak Kota Jakarta amblas dan warga kekurangan air.
Kondisi semakin buruk, karena tanpa hujan pun Jakarta bisa banjir sebagai dampak banjir kiriman dari Bogor. Menurut Armi yang juga Kepala Departemen Klimatologi ITB, jika pada masa lalu banjir kiriman memakan waktu 10 jam baru tiba di Jakarta, kini waktu itu semakin singkat menjadi enam jam karena lokasi hujan ada di Depok.
Dari sisi tren curah hujan, Jakarta tidak meningkat, yang berubah adalah polanya. Suatu ketika pada musim hujan terkadang bisa mencapai titik ekstrem, sehingga menimbulkan dampak pada banjir Jakarta.
Daratan Bogor lebih tinggi dari Jakarta, maka pada saat musim hujan, aliran air sungai memiliki debit air yang sangat tinggi dan tak terbendung di wilayah Jakarta. Banjir akan berlangsung 1-2 hari, bergantung pada lamanya dan intensitas hujan di wilayah Bogor.
Dikatakan, Jakarta saat ini berpotensi menjadi wilayah yang rentan terhadap sumber daya air. Populasi penduduk semakin meningkat, lahan-lahan kosong berubah menjadi permukiman, yang mengakibatkan lahan penyerap air hujan semakin sedikit. Pada tahun mendatang, Jakarta akan menghadapi krisis air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Jakarta. Dengan memanfaatkan potensi air hujan, terutama pada musim hujan maka aliran air yang berlebihan (overflow) dapat dibendung dan dimanfaatkan menjadi sumber-sumber air.
"Sebaiknya air dari Bogor dimanfaatkan misalnya untuk air minum dibuat penampungan air dari Gunung Salak di bawah permukaan tanah. Biayanya memang besar, tetapi bermanfaat," katanya.
Dana Besar
Untuk membangun sumber-sumber air diperlukan daerah yang tepat, agar upaya efektif. Membangun sumber-sumber air ini memang memakan biaya tinggi.
Sebagai perbandingan, pembangunan bendungan sebagai penahan air untuk menjadi sumber air sekunder di Belanda menelan biaya Rp 1 miliar untuk satu bendungan. Bandingkan dengan kerugian akibat banjir selama 12 hari yang ditanggung penduduk Kota Jakarta, yakni sekitar 38 triliun.
Konsep pemanfaatan air dari Bogor ini sebagai sumber air sekunder dan sekaligus mencegah banjir kiriman, membutuhkan pembangunan bak-bak yang menjadi pengumpul air dari Bogor dan berada di bawah permukaan tanah. Bak yang tersebar di berbagai wilayah, dan khususnya dibangun di kawasan yang rentan krisis air, dihubungkan dengan pipa.
Dalam pengumpulan air juga diperlukan polder (tanah yang digenangi air dan dikelilingi tanggul untuk mengatur debit air). Jika dibandingkan dengan Banjir Kanal Timur (BKT) yang saat ini dibangun untuk mengantisipasi banjir, menurut Armi, BKT kurang tepat karena justru berpotensi memunculkan bencana banjir baru.
Artinya, terjadi back water (air kembali) dari kenaikan air laut menuju kanal. Selanjutnya, air meluap ke daratan.
"Konsep memanfaatkan air dari Bogor bisa dilaksanakan, dan biayanya lebih kecil dibanding kerugian karena banjir. Banjir selama lima hari di Jakarta dampaknya bisa sampai 12 hari menimbulkan kerugian Rp 38 triliun. Kerugian bahkan bisa lebih dari itu, jika tidak ada antisipasi adaptasi perubahan iklim," katanya.
Namun, konsep yang ditawarkan DNPI seperti pemanfaatan air dari Bogor itu, menurut Koordinator Indonesia Berseru Tejo Wahyu Jatmiko, memakan biaya yang besar dan belum disosialisasikan. Konsep tersebut dinilai sudah dilakukan pada masa lalu berupa pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu.
"Ini konsep lama, dan mahal sekali. DNPI memang sudah memiliki rencana aksi nasional (RAN) di bidang adaptasi menghadapi perubahan iklim, tetapi tiap-tiap sektor belum terintegrasi. Apakah model adaptasi ini bisa dikerjakan secara bersama-sama oleh lintas sektor," ujar Tejo. [SP/Nancy Nainggolan]
Post Date : 21 Agustus 2009
|