|
NUSA DUA (SINDO) Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menilai mekanisme pembangunan bersih (CDM) rumit dan tidak transparan. Kondisi itu diperparah dengan adanya mekanisme pasar dan tidak fleksibelnya akses CDM. Akibatnya, banyak negara berkembang yang tetap tidak dapat meningkatkan kapasitas dalam menghadapi perubahan iklim. Penilaian itu terungkap dalam Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, kemarin. Selama ini, akses negara-negara berkembang untuk CDM sangat sulit karena rumitnya prosedur. Delegasi Indonesia menekankan perlunya penyederhanaan aturan untuk mengakses CDM. Sederhanakan peraturan sehingga negara-negara berkembang dapat berpartisipasi dalam meningkatkan kapasitasnya,ungkap Masnellyarti Hilman,salah seorang delegasi Indonesia,kemarin. Sikap Indonesia itu muncul setelah mendengarkan laporan G77 dan China yang dipaparkan Pakistan.G77 merupakan gabungan negara-negara berkembang untuk menguatkan daya tawar di hadapan negara-negara maju. Kritik keras dilontarkan Bernardo Rumualdo, delegasi Nikaragua yang menyatakan bahwa biaya transaksi dalam mengakses CDM selama ini sangat tinggi. Biaya yang tinggi dan syarat-syarat yang ketat membuat kami kesulitan. Negara yang membutuhkan harus membayar jumlah yang besar pada negara-negara pemilik proyek, tandasnya. Kendala itulah yang dikeluhkan Nikaragua. Akibatnya, mereka kesulitan meningkatkan daya saing. Sikap senada dikemukakan Nepal.CDM mungkin akan menjadi perangkat untuk mengurangi emisi dengan dukungan pemerintah lokal dan melibatkan komunitas miskin, kata Narayan Prasad Silwal, delegasi Nepal. Nepal mendukung agar negara industri maju seperti Uni Eropa terlibat lebih serius dengan proyek-proyek untuk negara miskin. Namun, Nepal menegaskan CDM selama ini sangat lamban. Kami ingin proyek-proyek CDM dapat dipercepat di wilayah pedesaan seluruh dunia, kata Narayan. Delegasi dari Kenya menambahkan, selama ini CDM tidak merata dan diperlukan perangkat baru agar program itu bisa dinikmati di berbagai wilayah. Perlu panduan untuk proyek-proyek kecil dan medium di Afrika. Donor harus meningkatkan pendekatan belajar sambil bertindak, ungkap David Mwiraria, delegasi Kenya. Mekanisme pasar disoroti negara berkembang sebagai salah satu kendala untuk mendapatkan akses terhadap CDM. Karena itulah delegasi Kolombia menyatakan agar aturan-aturan dalam CDM lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu hal yang disoroti Nigeria dalam pertemuan UNFCCC kemarin terkait dengan transfer teknologi. Nigeria bisa aktif terlibat jika memiliki kapasitas yang sesuai. Kami memiliki potensi yang besar karena itulah CDM harus mendukung transfer teknologi, ujar perwakilan delegasi Nigeria. Nigeria banyak tertinggal dalam akses terhadap teknologi. Padahal, salah satu negara Afrika ini banyak mengalami dampak pemanasan global berupa kekeringan. Negara Afrika lain, Ethiopia, menekankan bahwa peningkatan jumlah proyek-proyek CDM jangan melenakan. Ketua Tim Negosiator Indonesia dalam UNFCCC Emil Salim mengungkapkan, pengucuran dana serta proses pengajuan proyek CDM akan disederhanakan. Pasalnya, banyak negara berkembang yang mendesak agar kucuran dana dari Global Environment Facility (GEF) untuk mendukung proyek CDM bisa dipercepat. Minimal 22 bulan. Kalau bisa lebih pendek lebih baik,jelas Emil seusai jumpa pers delegasi Indonesia kemarin. Dia menilai biaya yang harus dikeluarkan oleh negara berkembang dalam pengerjaan proyek CDM lebih mahal karena banyaknya prosedur yang harus dilalui. (maya sofia/syarifudin/titis w) Post Date : 06 Desember 2007 |