Cara Makassar Menjabarkan Isu Global

Sumber:Kompas - 27 Desember 2009
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Jauh sebelum para kepala negara bertemu dalam Konferensi Perubahan Iklim 2009 di Kopenhagen, Denmark, ibu-ibu rumah tangga di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, sudah berbuat nyata terkait isu pemanasan global. Aksi itu tak hanya berefek pada lingkungan yang asri, tetapi juga berimbas pada ekonomi warga.

Selama tiga tahun terakhir, terbangun tradisi memilah sampah organik dan anorganik. Sampah dari bahan yang membusuk dikumpulkan dan diolah menjadi kompos, sedangkan sampah dari bahan plastik diolah menjadi tas, pot bunga, sandal, rajutan taplak meja, dan beragam aksesori perabot rumah tangga.

Hasilnya, penjualan barang-barang tersebut tak hanya menambah kas keluarga, tetapi juga berguna menyemarakkan aktivitas sosial, seperti menggiatkan posyandu dan pertemuan warga.

”Lebih baik kita mengolah sampah jadi barang-barang berguna. Kalau tiap hari kita membuang sampah plastik dan membakarnya, berapa banyak karbon mengepul dan merusak lapisan ozon? Rusaknya lapisan ozon membuat udara makin panas, gunung es di kutub utara mencair, dan air laut pun jadi naik melibas saudara kita yang di pesisir pantai. Dampak paling nyata kalau kita buang sampah sembarangan, selokan mampat dan air got masuk ke rumah,” ujar Ny Rugaiyah (53), warga Kelurahan Kassi-kassi, Kecamatan Rappocini, Makassar, Kamis (24/12).

Dengan cekatan, ibu rumah tangga yang akrab disapa Daeng Ruga itu mencontohkan cara merajut lembar plastik bekas kemasan sabun dan minyak goreng untuk dijadikan tas. Sebelah kakinya menginjak pedal mesin jahit, sementara tangannya mencocokkan tusukan jarum pada patron lembaran-lembaran plastik itu. Tak lama kemudian terbentuklah sebuah tas plastik yang siap dijual seharga Rp 50.000.

Di Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Mamajang, Ny Mien Nico (61) membangun sinergi dengan tetangganya yang merupakan buruh bangunan dan tukang becak untuk mendaur ulang koran dan kardus bekas. Di pojok ruang tamunya tertumpuk replika rumah adat dan pigura berharga Rp 50.000-Rp 75.000 per buah.

Dengan sentuhan seni merangkai dan mewarnai, sepintas barang-barang itu bak terbuat dari kayu dan bambu. Sama sekali tak mencerminkan bahan limbah dan sampah.

”Ini sebagian dari produk kami bersama ibu-ibu sekitar sini,” ujar Ny Mien Nico. ”Pekan lalu, sebuah organisasi penyandang cacat memborong habis produk tas kami, sekaligus mengundang saya menularkan keterampilan ini kepada penyandang cacat,” ujar Ny Mien Nico lebih lanjut.

Bersih dan asri

Dampak pemilahan sampah dan daur ulang yang berlangsung massal itu membuat gang-gang yang semula kumuh menjadi bersih dan asri. Kaleng dan botol bekas wadah produk minuman, misalnya, tak cuma diolah menjadi perabot rumah tangga, tetapi juga menjadi pot-pot tanaman hias.

Di tembok gang dan lorong-lorong permukiman warga kini bergelantungan pot tanaman hias. Di setiap pojok gang tersedia kaleng bekas untuk pembuangan puntung rokok.

Tradisi warga mengelola sampah dan menata lingkungan permukiman menjadi asri itu relevan dengan kebijakan Pemerintah Kota Makassar, yang mewajibkan setiap rumah tangga menanam pohon. Ini sekaligus membuktikan bahwa paparan Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin pada Klimaforum di Kopenhagen, 9 Desember lalu, bukan isapan jempol.

Klimaforum adalah forum tandingan yang dibuat aktivis lingkungan sedunia untuk mengimbangi elitisitas forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di hadapan ahli, birokrat, dan aktivis lingkungan dari seluruh dunia, Ilham memaparkan bagaimana menjembatani partisipasi warga dengan pengambil kebijakan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, yang juga hadir di Kopenhagen, menyambut baik konsep tersebut. ”Sekecil apa pun upaya menata lingkungan dan laut niscaya berdampak positif skala global,” katanya. (NAR)



Post Date : 27 Desember 2009