|
BANDUNG, (PR).- Pemerhati dan juga pakar lingkungan hidup, Prof. Dr. Otto Soemarwoto mengungkapkan, untuk menangani pencemaran Sungai Citarum, selain melalui penegakan hukum juga perlu dicari jalan lain sehingga tidak stagnan karena belum adanya langkah kongkret di lapangan. Otto mengungkapkan, langkah konkret dan mudah dilaksanakan adalah mengurangi pencemaran limbah dengan sistem biologis dengan menebar eceng gondok. Dengan cara itu diharapkan bisa menetralkan zat-zat pencemar terutama dari limbah industri dan limbah rumah tangga. "Eceng gondok terbukti dapat menyerap zat kimia dari limbah baik limbah industri maupun rumah tangga. Kiranya tepat ditanam di Sungai Citarum yang sudah terkena limbah," ungkap Otto dalam makalahnya yang disampaikan pada seminar "Pengelolaan Waduk dan Danau di Puslitbang Sumber Daya Air", belum lama ini. Dia menjelaskan, eceng gondok bisa ditanam di mulut sungai yang masuk ke dalam waduk atau genangan air sungai. Hanya saja harus diperhatikan agar tanaman itu tidak sampai menutupi seluruh permukaan waduk, karena nantinya dapat mengganggu unsur hayati lainnya. Menurut Otto, jumlah eceng gondok di waduk harus dibatasi dengan memanfaatkannya untuk kerajinan tangan seperti, kerajinan kantong, tas, dan keset. "Di satu sisi dibatasi, di satu sisi lagi menjadi nilai guna bagi masyarakat perajin," katanya. Berpotensi Menyinggung keberadaan jaring apung (japung) di aliran Sungai Citarum yaitu di Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, menurut Otto jumlahnya harus dibatasi karena berpotensi menyumbang limbah. Ia menyarankan agar ada penelitian mengenai kandungan merkuri dan zat racun lain dalam daging ikan produksi japung. Otto mengungkapkan, mengembangkan japung harus sesuai dengan daya dukung lingkungan yaitu dengan membatasi luas jaring apung dengan tidak melebihi 1% dari luas areal yang digunakan untuk japung. Kemudian jarak antarjapung juga harus diatur minimal 50 meter. Ia memandang perlu segera dibatasinya japung mengingat terjadinya pencemaran air yang berasal dari sisa pakan ikan dan kotoran ikan yang mengendap di dasar danau sudah tinggi. Memang untuk melaksanakan semua itu dirasakan sulit dan butuh dukungan dari semua pihak terutama pemerintah daerah setempat. Jika tidak, maka pencemaran akan semakin besar dan ikan yang mati pun akan terus semakin banyak, terutama terjadi pada saat pembalikan lapisan air. Dia menjelaskan, pembalikan terjadi pada waktu suhu permukaan air turun, misal karena hujan dan suhu menjadi dingin atau suhu udara yang dingin pada waktu musim kemarau. Pada saat pembalikan itu air dari dasar danau naik dengan membawa NH3, H2S, dan CO2 yang terakumulasi dari proses pembusukan anaerob di lapisan bawah. Akibatnya berton-ton ikan pun mati. "Pengerukan dan menyedot limbah budidaya ikan yang mengendap di dasar danau juga perlu, terutama yang ada di bawah japung. Endapan itu bisa dijadikan kompos dan budi daya cacing sebagai bahan baku produksi pakan ikan," katanya. (A-113) Post Date : 19 Oktober 2004 |